Pada langit yang diriuhi sunyi, aku menitipkan sepotong hati
(Lingsir)
***
Bag.5
Purnama di Langit Lembah
Malam beranjak sangat lambat. Sementara jilat api unggun perlahan mulai meredup. Menyisakan potongan-potongan bara yang memerah.
Diar baru saja menenangkan Nilam dan membujuk gadis itu untuk masuk kembali ke dalam tenda, mengabaikan suara-suara yang berapa waktu lalu sempat didengarnya.
"Tidurlah. Tak perlu takut apa pun. Lolong serigala sudah biasa terdengar di lembah sunyi seperti ini."
Karena tidak ingin berdebat di tengah malam buta, Nilam akhirnya memilih menurut. Ia berdiri, masuk ke dalam tenda, menyatukan tirainya yang sejak tadi dibiarkan terbuka.
Tapi sebelum benar-benar mengatupkan resleting pintu tenda, ia menyempatkan diri mengintip keadaan di luar. Pandangannya menyapu sekeliling. Dimulai dari menatap sosok Diar, tunangannya yang duduk di dekat api unggun membelakanginya, lalu beralih ke rimbun pepohonan yang berdiri gagah bak raksasa jumawa, dan berhenti pada langit yang --- oh, ia terperangah.
Ia baru menyadari, malam itu langit sedang dihiasi bulan purnama. Purnama di langit lembah! Sungguh indah. Ia terkesima.
Ya. Purnama di langit lembah. Ia mengulangi sekali lagi. Rasa kagum membuat pandangannya lama tak beralih. Ia sengaja membiarkan seluruh panca inderanya menikmati suguhan alam yang jarang-jarang ditemukannya.
Menyaksikan purnama seperti ini membuat pikirannya tahu-tahu melesat, mengembara jauh ke masa lalu, masa kecil yang pernah dijalaninya di kampung.
Dulu, setiap kali purnama muncul, ibunya selalu membuka jendela kamar dan mendudukkannya di ujung bingkai. Lalu berdua mereka menikmati langit yang terang benderang.
"Indah sekali, ya, Bu." Bibir mungilnya tak henti memuji. Ibunya tersenyum sembari berbisik, "Alam memang selalu memberi yang terindah, Nduk. Kita patut mensyukurinya."
Sayangnya lamunan tentang masa kecil bersama purnama dan ibundanya itu harus pupus. Telinganya kembali menangkap suara yang membuat hatinya seketika menciut.Â
Lolong itu lagi!
Buru-buru ia menarik diri, menutup tirai tenda, dan meringkuk seperti kepiting di dalam sleeping bag-nya.
***
Udara lembah mulai mengembun dan terasa lembab. Suhu dingin di bawah derajat rata-rata merambah perlahan, menusuk pori-pori hingga ke sum-sum tulang. Diar sempat menggigil dan memutuskan untuk mengambil jaket sekaligus penutup kepala.Â
Tapi sebelum itu ia merasa perlu merapikan bara api yang berserakan, yang sebagian sudah padam menggunakan ujung ranting yang sejak tadi digenggamnya.
Saat mengutak-atik bara itulah tengkuknya mendadak didera desir angin yang aneh  Desir yang sangat kuat dan panas. Sontak ia menggerakkan pundak, menoleh ke sekeliling.Â
Entah akibat terbawa pikiran atau apa, ia merasa desir angin yang mendera tadi disertai oleh sesuatu. Sesuatu yang melesat cepat di dekatnya.
Sesuatu? Ia menajamkan sekali lagi indera perasanya. Sudah tidak terasa apa-apa lagi. Angin lembah berembus normal seperti sedia kala.
Ia lantas berdiri. Mengibaskan celana yang berdebu, bersiap melangkah menuju tenda untuk mengambil ransel berisi pakaian hangat.
Dan, ketika berbalik badan itulah ia dikejutkan oleh sesuatu --- sosok hitam, berdiri mematung di dekat tenda. Mengawasinya.
Bersambung....
***
Malang, 10 Juli 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Kisah sebelumnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H