Ya. Purnama di langit lembah. Ia mengulangi sekali lagi. Rasa kagum membuat pandangannya lama tak beralih. Ia sengaja membiarkan seluruh panca inderanya menikmati suguhan alam yang jarang-jarang ditemukannya.
Menyaksikan purnama seperti ini membuat pikirannya tahu-tahu melesat, mengembara jauh ke masa lalu, masa kecil yang pernah dijalaninya di kampung.
Dulu, setiap kali purnama muncul, ibunya selalu membuka jendela kamar dan mendudukkannya di ujung bingkai. Lalu berdua mereka menikmati langit yang terang benderang.
"Indah sekali, ya, Bu." Bibir mungilnya tak henti memuji. Ibunya tersenyum sembari berbisik, "Alam memang selalu memberi yang terindah, Nduk. Kita patut mensyukurinya."
Sayangnya lamunan tentang masa kecil bersama purnama dan ibundanya itu harus pupus. Telinganya kembali menangkap suara yang membuat hatinya seketika menciut.Â
Lolong itu lagi!
Buru-buru ia menarik diri, menutup tirai tenda, dan meringkuk seperti kepiting di dalam sleeping bag-nya.
***
Udara lembah mulai mengembun dan terasa lembab. Suhu dingin di bawah derajat rata-rata merambah perlahan, menusuk pori-pori hingga ke sum-sum tulang. Diar sempat menggigil dan memutuskan untuk mengambil jaket sekaligus penutup kepala.Â
Tapi sebelum itu ia merasa perlu merapikan bara api yang berserakan, yang sebagian sudah padam menggunakan ujung ranting yang sejak tadi digenggamnya.
Saat mengutak-atik bara itulah tengkuknya mendadak didera desir angin yang aneh  Desir yang sangat kuat dan panas. Sontak ia menggerakkan pundak, menoleh ke sekeliling.Â
Entah akibat terbawa pikiran atau apa, ia merasa desir angin yang mendera tadi disertai oleh sesuatu. Sesuatu yang melesat cepat di dekatnya.