Sepercik api bisa menjadi baraÂ
dan, bara bisa menoreh luka
(Lingsir)
***
Bag.4
Malam Pertama di Lereng Lembah
Sinyal internet mendadak menghilang. Diar tak bisa lagi melanjutkan percakapan dengan Bayu.
Kembali lelaki gondrong itu mematikan ponsel. Ya, sekalipun telah membawa power bank cukup banyak dari rumah, ia tetap merasa perlu untuk berhemat baterai.
Langit lembah perlahan menggelar tirai gelapnya diiringi desir angin yang bersekutu dengan udara dingin.Â
Untunglah tenda telah rampung didirikan. Jadi Nilam bisa meringkuk dengan nyaman di dalamnya.
Sementara Diar, tangannya yang kekar sibuk menata tumpukan kayu kering hingga membentuk piramida. Pengalaman pernah ikut Pramuka saat duduk di bangku sekolah dulu, membuatnya tidak terlalu sulit menyalakan api unggun.
Dan, benarlah. Sebentar kemudian api sudah berkobar-kobar, nyalanya siap menghangatkan tubuh yang hanya berbalut kaos oblong.
Sembari menunggu kopi di hadapannya mendingin, Diar membaca kembali jejak chat yang dikirim oleh Mas Bayu lewat WA, beberapa hari lalu.
Bro!
Orang lain boleh berasumsi, bahwa meninggalnya dua tenaga medis itu murni akibat diserang oleh pasien ODGJ. Tapi aku tidak!
Ya. Aku memang selalu berpikir berseberangan dengan mereka --- orang-orang yang sok realistis itu. Sebab aku yakin, di balik kematian dua tenaga medis itu ada misteri tersembunyi yang harus diungkap. Dan, itu adalah tugasmu!
Tentang bagaimana aku bisa yakin bahwa misteri itu berasal dari Lembah Ayu yang akan kaudatangi ini, kelak jika waktunya tiba, aku berjanji kita akan bertemu dan bicara empat mata.
Selamat menikmati hari-hari yang menyenangkan, Bro! Jangan lupa kabari aku.
Salam,
Bayu Samsara
Diar menelan ludah. Ia tak habis pikir mengapa dirinya memilih bekerja di bawah pimpinan orang aneh semacam Mas Bayu.
Ia jadi teringat awal mula berkenalan dengan lelaki nyentrik itu. Mereka bersua lewat dunia maya. Entah apa yang menjadi pertimbangan Mas Bayu. Tahu-tahu lelaki itu merekrutnya secara virtual untuk bergabung di usaha penerbitan yang dirintisnya. Majalah Misteri.
Anehnya pula, ia menerima tawaran itu begitu saja, tanpa pikir panjang. Padahal ia tidak tahu secara detail bagaimana sosok Pimred itu sesungguhnya. Yang ia tahu, saat mereka melakukan interaksi video call, Mas Bayu mengenakan masker --- benar-benar masker, karena seluruh wajahnya tertutup rapat. Hanya kedua mata dan rambutnya saja yang tidak disembunyikan.
Ciri khas lain, Mas Bayu bersuara berat. Penuh wibawa. Humble. Diar merasa cukup menilai lelaki itu dari sisi ini saja. Ia mengabaikan hal lain.
Bunyi gemerisik rumput kering terinjak kaki membuat Diar tergugah dari lamunan tentang sosok Mas Bayu. Ia menoleh sejenak. Dilihatnya Nilam berjalan mendekatinya dengan badan berbalut selimut.
"Kok belum tidur?" Diar menegur.
"Belum mengantuk." Nilam menyahut pelan.
"Kedinginan, ya? Gabung saja di sini." Diar beringsut. Memberi tempat agar Nilam leluasa duduk di sampingnya.
"Mau kopi?" Diar menyodorkan cangkir yang tertangkup di tangannya. Dan, Nilam nyaris menerima cangkir itu kalau saja telinganya yang peka tidak menangkap suara aneh dari kejauhan.Â
Suara yang membuat bulu kuduknya meremang.
Lolong serigala.
Bersambung ....
***
Malang, 09 Juli 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Kisah sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H