Jika tak bisa menorehkan setitik asa pada cahaya yang kausimpan di sudut mata
yakinlah masih bisa menggantang angan
tuk kaugantungkan di palung hati paling muram, sekali pun
Oh .... aku ingin
abadi bersama cinta
dalam perih
dalam luka
(Lingsir)
***
Bag. 2 Â
Perintah dari Atasan
Diar. Lelaki berambut gondrong itu mengamati sederet kalimat yang terpampamg di hadapannya. Ekspresinya datar. Sebatang rokok tanpa bara dibiarkan tetap terselip di antara kelopak bibirnya yang kering.
Sementara di luar langit senja mulai meredup. Sepertinya hari akan turun hujan. Iapun beranjak dari duduk. Berjalan ke arah jendela, menutup katup daunnya yang berderak-derak tertiup angin. Â Â
Usai menekan engsel hingga seluruh batang besinya masuk ke dalam lubang, langkahnya kembali menuju meja kerja. Mata tajamnya berhenti sejenak pada layar laptop yang masih menyala.
Hm. Puisi itu ditulis oleh seseorang yang memakai nama pena unik: Lingsir.
Lingsir? Siapa dia? Terlepas dari rasa penasaran mengenai sosok penulis itu, nama Lingsir mengingatkannya pada salah satu tembang yang pernah dianggit oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Lingsir Wengi.
Tanpa sadar ia termenung. Lebih tepatnya merenung. Cukup lama pikirannya terbawa arus perasaannya sendiri. Perasaan yang entah, yang amat sulit dijabarkan dengan kata-kata.Â
Tapi kemudian ia tergugah dari renungan yang tidak jelas itu, ia teringat bahwa sore ini harus segera menghubungi seseorang.
Tangannya terjulur meraih ponsel yang tergeletak tepat di samping laptop. Ditekannya beberapa angka. Sebuah nama muncul diikuti nada sambung menunggu untuk diangkat.
"Ya, hallo my Brother! Sudah membaca berita ter-update hari ini?" Terdengar suara berat seseorang dari seberang sana. Ia menggeser kursi sedikit, menyingkirkan batang rokok dari bibirnya lalu menyahut, "Belum. Berita apa?"
"Dua tenaga medis tewas setelah dilukai oleh pasien yang diduga ODGJ."
"Oh, ya? Di mana kejadiannya?"
"Nanti aku kirim link beritanya, ya. Tapi setelah itu, seperti biasa tugasmu adalah melaksanakan perintahku!"
Diar menyengir kuda. Ia sudah menduga, Bayu --- Pimred Majalah Misteri itu pasti tidak akan tinggal diam. Laki-laki yang berusia beberapa tahun lebih tua darinya itu selalu, ya selalu akan berusaha menguak setiap kejadian --- terutama yang berbau misteri dengan caranya sendiri.
"Bro? Kau masih mendengarku?" Suara dari seberang sana membuat duduknya beringsut sedikit.
"Ya, masih."
"Bagus. Persiapkan dirimu baik-baik. Tugas investigasi kali ini lumayan berat. Lokasinya berada di wilayah lereng Arjuno bagian barat. Namanya Lembah Ayu. Kau pernah dengar nama itu?"
"Tidak --- mm, maksudku belum. Tapi aku akan berusaha mempelajari peta wilayahnya."
"Thank's Bro! Itulah yang aku suka darimu. Pantang menolak setiap perintah atasan." Lelaki di seberang sana menutup percakapan dengan mengumbar tawa. Membuat Diar kembali menyengir kuda.
***
Ia baru saja rampung mengemasi barang-barang ketika Nilam muncul di ruang tamu.
"Aku ikut!" seru gadis itu dengan suara riang. Diar terperangah. Tapi kemudian laki-laki itu mahfum. Pasti Pimred bujang lapuk itu yang telah memberitahu Nilam tentang rencana kepergiannya.
"Ni. Sebaiknya kau tidak ikut. Kali ini tugasku agak lama dan lokasi tempuh cukup jauh. Kalau kau memaksa, aku khawatir kau tidak akan kuat." Diar mencoba membujuk secara halus tunangannya itu.
"Justru aku tidak akan kuat kalau harus berjauhan darimu...." Bibir Nilam mengerucut. "Pokoknya aku harus ikut!"
Nilam berjalan mendekat dengan kaki berjinjit. Tepat di hadapan Diar matanya yang bulat berkedip-kedip jenaka. Sungguh, melihat tingkah laku Nilam yang demikian, Diar mati kutu.
"Baiklah. Tapi janji jangan berkeluh kesah. Sebab perjalanan yang akan kita tempuh tidak seindah yang kaubayangkan." Diar sengaja menekankan intonasi suaranya. Tapi hal itu malah membuat Nilam tersenyum. Senyum penuh kemenangan. Ia tahu Diar tidak mungkin sampai hati menolak keinginannya.
"By the way, Tuan gondrong, aku sudah menyiapkan banyak perbekalan makanan untuk kita berdua. Sebentar ya, aku ambil dulu dari bagasi mobil."
Tanpa menunggu jawaban Nilam melesat pergi. Meninggalkan Diar yang perlahan duduk seraya menyandarkan punggung pada sandaran kursi dengan mata setengah terpejam.
Dan, ia baru membuka mata kembali ketika ponsel di dalam saku jaketnya berdering nyaring.Â
Telpon dari Bayu.
"Selamat menjalankan tugas dariku, ya, Bro! Hati-hati. Akan ada banyak peristiwa ganjil yang siap menyambut kedatanganmu di lembah angker itu. Nanti."
Bersambung ....
***
Malang, 06 Juli 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Kisah sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H