"Kurasa tidak! Sukati jauh lebih cantik dari Sukesi." Seorang ibu yang lain menimpali.
"Semoga nasibnya tidak seburuk Sukesi yang ...."
Saya memilih bergegas masuk rumah. Sungguh. Saya tidak ingin mendengar kelanjutan gunjingan mengenai Ibu.
***
Oh, ya. Nama saya Sukesi. Saya anak tunggal yang tinggal berdua saja bersama Ayah. Ibu saya sudah lama meninggal karena sakit.
Tujuh belas tahun lalu saya melahirkan bayi perempuan yang cantik dibantu oleh bidan setempat, tepat pada saat bulan purnama sedang bersinar penuh.
Meski awalnya Ayah marah besar ketika mengetahui anak gadisnya melahirkan bayi tanpa suami, toh, akhirnya hati Ayah luluh juga. Bahkan Ayah-lah orang pertama yang menggendong dan mengazani bayi mungil saya. Lalu memberinya nama Sukati.
Ketika Sukati berusia dua puluh satu hari Ayah terjatuh di kamar mandi. Terjadi pendarahan serius di kepalanya. Sempat saya larikan ke rumah sakit namun di tengah perjalanan Ayah mengembuskan napas terakhir.
Ayah tutup usia sebelum saya sempat berterus terang kepadanya siapa lelaki yang telah menghamili saya hingga membuat Sukati lahir.
Nama saya Sukesi. Saya tahu orang-orang sibuk menggunjingkan diri saya serta berpikir hal-hal buruk mengenai kehidupan saya. Tapi saya tidak peduli!
Waktu terus bergerak. Seperti air sungai yang meluncur turun dari punggung gunung menuju lereng lembah. Begitu juga dengan anak perempuan saya, Sukati. Ia telah tumbuh menjadi gadis jelita tiada tara. Kiranya purnama benar-benar telah manjing ke raganya.
Ini memasuki tahun ke tujuh belas saya membesarkan Sukati. Sudah saatnya saya berterus terang kepadanya perihal rahasia yang selama ini tersimpan rapi di kotak pandora kehidupan saya.