"Tidak ada tikus lagi di gudang ini, Tuan Raja," sambutku. Ya, aku sengaja memanggil kucing tua itu dengan sebutan Tuan Raja. Hanya agar hatinya senang. Agar semangat hidupnya tetap menyala meski tikus-tikus santapannya mulai terancam punah.
Tuan Raja berjalan lunglai mendekatiku, hidungnya mengendus kakiku yang mulai rapuh dimakan rayap. Ia menguap sebentar lalu menggelosohkan tubuhnya di atas ubin.
"Apa kabar di luar sana, Tuan Raja? Apakah sawah milik juragan Romli seluruhnya sudah berubah menjadi perumahan elit?" tanyaku berbasa-basi. Tuan Raja menyahut dengan eongan panjang.
Pluk!
Anak cicak yang merayap di dinding terjatuh. Mungkin putus asa menghadapi kenyataan tidak ada lagi nyamuk yang bisa disantapnya.Â
Ia jatuh tanpa suara, tanpa air mata.
Begitu juga ketika Tuan Raja membiarkan tubuh kurusnya menggelepar lapar. Meski, kalau mau ia bisa saja menyantap anak cicak yang baru saja mati itu. Tapi ia enggan melakukannya. Ia memilih mengembuskan napas terakhir dengan perut kosong. Dan itu, menurutku sungguh pilihan yang sangat elegan.
Kini dua sahabatku telah pergi. Aku benar-benar sendiri.
***
Suatu pagi juragan Romli datang bersama bulldozernya. Lelaki tambun itu memutuskan merobohkan sendiri gudang tua miliknya yang kutempati ini --- yang katanya sudah tidak berguna lagi.Â
Saat ia sibuk menyalakan mesin, diam-diam aku mengambil alih tugasnya. Kurebut bulldozer yang disetirnya. Kulemparkan juragan mata duitan itu tepat ke tengah gudang di mana dua jasad sahabatku telah mengering.