Dari sinilah konflik mulai terbangun. Kedatangan Rupaksa ternyata hendak membawa pulang adiknya itu, seraya memberitahu bahwa pembunuh Ayah mereka tak lain adalah Raja Banterang sendiri.
Surati menolak dijemput pulang. Ia merasa berhutang budi kepada Raden Banterang karena telah menyelamatkannya. Penolakan tersebut membuat Rupaksa kecewa. Ia lalu pamit pergi dengan meninggalkan ikat kepala untuk Surati.
"Simpan ikat kepala ini sebagai kenang-kenangan. Letakkan di bawah bantalmu."
Surati menurut. Ia melepas kepergian kakaknya dengan perasaan sedih.
Sementara Raden Banterang yang sedang berburu di tengah hutan, terkejut ketika didatangi seorang lelaki compang-camping yang tak lain adalah kakak istrinya itu.
Demi membalas dendam kematian Ayahnya, Rupaksa menghasut bahwa Surati telah berniat membunuh suaminya atas suruhan seseorang.
"Jika tidak percaya, lihatlah di bawah bantal istri Baginda. Ia telah nenerima cinderamata dari lelaki suruhannya itu."
Raden Banterang segera melesat pulang. Dengan hati terbakar ia menemui Surati. Dan, benarlah. Ia menemukan ikat kepala di bawah bantal istrinya itu.
Raden Banterang memaksa Surati mengakui rencana hendak membunuhnya. Tentu saja Surati menolak. Ia bersikukuh bahwa dirinya tidak memiliki rencana jahat apa pun seperti yang dituduhkan oleh suaminya itu.
Kisah berakhir tragis dengan terjunnya Surati ke dalam telaga. Tapi sebelum itu Surati sempat bersumpah jika air telaga itu berbau wangi dan tetap bening, maka dirinya tidak bersalah.
Dan, memang yang terjadi adalah air terjun itu tetap bening dan menguarkan bau harum. Raden Banterang pun menyesali tindakannya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!