Sejenak saya ingin bernostalgia.
Dulu ketika masih duduk di bangku SD, saya kerap didapuk membacakan puisi tanpa teks di depan kelas. Atau biasa disebut "deklamasi". Saya masih ingat betul, puisi "Doa" karya Chairil Anwar adalah puisi favorit yang selalu saya bawakan.
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Cahaya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Oh, iya. Alasan mengapa Ibu guru selalu memilih saya untuk mendeklamasikan puisi-puisi di depan kelas adalah---menurut beliau, saya bisa menjiwai isi puisi dengan sangat baik.
Semisal, saat membaca puisi bertema heroik, suara saya terdengar nyaring dan lantang. Wajah saya yang manis (ehem), berubah garang.
Sebaliknya saat membacakan puisi bernada sedih, suara saya mendayu-dayu diikuti ekspresi layaknya seseorang yang ditimpa kemalangan.
Dari suka membaca puisi tanpa teks itulah saya sering diundang manggung di tempat terbuka. Nyaris di setiap perayaan HUT Kemerdekaan RI atau pada hari-hari besar lainnya dipastikan saya selalu tampil.
Senang? Tentu saja! Sebagai bocah zaman kalabendu, saya merasa begitu istimewa. Bayangkan. Saya sudah diserahi tanggung jawab mempelajari dan menghafal teks puisi dengan tema beragam. Bagi saya ini merupakan sebuah tantangan yang menyenangkan. Terutama jika puisi yang harus saya hafal kalimatnya panjang-panjang.
Menginjak remaja, berdeklamasi masih menjadi pilihan saya menyalurkan bakat seni. Selain menulis puisi tentunya.
Oh, iya. Sekadar bocoran. Saya menulis puisi pertama kali ketika duduk di kelas 5 SD. Saat itu saya menulis puisi untuk Ibu guru wali kelas yang akan pindah mengajar ke sekolah lain. Tidak tanggung-tanggung. Saya membuatkan beliau puisi satu buku penuh hanya dalam kurun waktu beberapa jam!
Lalu puisi kedua dan seterusnya untuk siapa? Nganu---saya menuliskan untuk si dia, cinta pertama saya. Ups!
Kembali ke hobi berdeklamasi. Di jenjang kelas lebih tinggi saya sering mewakili tampil ketika ada ajang lomba baca puisi. Alhamdulillah, saya bangga bisa ikut membawa nama baik sekolah.
Sekarang bagaimana? Di usia yang tidak muda lagi saya tetap suka membaca puisi. Meski kadar dan medianya berbeda.
Saya tidak lagi membaca puisi di depan kelas atau di atas panggung. Saya (kadang-kadang), membaca puisi-puisi karya sendiri di dalam kamar lalu meng-upload-nya di YouTube. Kegiatan ini saya lakukan sekadar untuk hiburan dan menolak lupa.
Berikut ccontoh visualisasi puisi saya yang sudah tayang. Silakan intip dan subscribe, yaa.
Untuk Menjadi Aku yang Sekarang
Untuk menjadi kupu-kupu, ulat bulu telah melewati fase bernama kepompong
Untuk menjadi bersinar, matahari mesti rela dipingit di dalam ruang gelap dan kosong
Untuk menjadi hujan
air laut tak segan dibekukan merupa barisan awan
Untuk menjadi begawan, para pertapa memilih mengabdi kepada sunyi
Dan, untuk menjadi aku yang sekarang
waktu telah mengajari bagaimana seharusnya berdamai dengan luka dan patah hati
Oh, iya. Satu lagi. Selain saya baca sendiri, ternyata puisi-puisi karya saya ada juga yang divisualisasikan dan dimusikalisasikan oleh YouTuber lain.Â
Ini dia link- nya:
***
Malang, 24 November 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H