Kubuka perlahan laci meja rias milik Ibu.Â
Ada! Tusuk konde terbuat dari besi kuningan itu kutemukan.
Sekarang tinggal memikirkan bagian tubuh mana yang harus kutusuk. Bola mata, perut, atau leher?
Tunggu dulu! Tusuk konde Ibu ternyata ada dua. Dua-duanya sayang kan, kalau tidak digunakan?
Baiklah. Aku sudah tahu untuk siapa satu tusuk konde itu.Â
Yup! Untuk adik bayiku yang lucu.
Karena aku sayang adik, maka adik harus kuprioritaskan. Aku mencontoh sikap Ibu. Ibu selalu mendahulukan apa-apa untuk adik. Sedang untukku, Ibu menomorduakan.
Aku lantas mendekati adik tersayangku. Kupegang lehernya yang lembut pelan-pelan. Lalu, crash! Crash! Berulang tusuk konde itu kuhunjamkan di sana.
Aneh. Adikku diam saja. Ia tidak menangis. Sungguh seorang adik bayi yang sangat pintar!
Selanjutnya aku harus menusuk leherku sendiri sebelum suara-suara gaduh dari alam lain itu kembali terdengar.
Darah segar muncrat di mana-mana. Di lantai, di atas sprei, di dinding kamar, juga di sekujur tubuhku yang kurus.