"Aku kalah hom pim pah dari teman-temanku, Bu. Itu artinya aku yang harus mati."
Ibu tidak bertanya apa-apa lagi. Sepertinya Ibu sudah mulai memahami keadaanku.
"Apakah Ibu bisa meminjamiku alat untuk berangkat menuju mati?" Aku bertanya bersungguh-sungguh. Ibu mengangguk.
"Nanti akan Ibu pinjami. Ibu punya tusuk konde di laci meja rias. Tapi sebelum itu, tolong jaga sebentar adikmu, ya. Ibu mau mandi."
"Baik, Bu!" Sahutku riang. Aku senang, akhirnya Ibu sadar bahwa anaknya ini tidak gila seperti yang dituduhkan oleh orang-orang.
Blam!
Ibu membanting pintu kamar mandi keras-keras. Sementara, sesuai janji aku menjaga adik bayi yang tertidur pulas di atas tempat tidur.
"Kamu curang! Harusnya kamu sudah mati, Gus! Mati! Mati!" Suara-suara itu tiba-tiba bersliweran di telingaku.
"Tunggu! Aku harus menjaga adikku dulu sampai Ibu selesai mandi!"
Tapi suara-suara itu terus saja terdengar riuh. Membuatku pusing dan panik.
Karena Ibu tak juga kunjung keluar dari kamar mandi, dan suara-suara itu terus saja berseru mengejarku, akhirnya kuputuskan untuk segera menyelesaikan semuanya.