Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bercerai Itu Berat, Kamu (Tidak) Akan Kuat!

6 September 2020   05:29 Diperbarui: 6 September 2020   05:53 1931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: m.klikdokter.com


Menyimak berita yang belakangan viral seputar fenomena ramai-ramai menggugat cerai di masa pandemi ini, tentu opini kita sejenak tergiring pada masalah keuangan atau ekonomi yang sedang terputuk. Meski tidak semua kasus perceraian berorientasi pada alasan tersebut.

Bisa jadi ada faktor lain yang mendasari hingga terjadi gugatan cerai itu, semisal; pernikahan yang dilakukan di usia muda. Atau lebih dikenal dengan pernikahan dini.

Menyoal pernikahan di usia muda, saya jadi teringat pengalaman pribadi saya.

Benar. Saya menikah di usia masih sangat muda, 19 tahun. Saya baru lulus SMU ketika memutuskan menerima pinangan seorang laki-laki---yang usianya hanya berselisih 4 tahun di atas usia saya. 

Saya bahkan rela meninggalkan beasiswa S1 yang diamanatkan kepada saya sebagai lulusan terbaik demi pilihan menikah di usia muda ini. Dan, itu berarti, saya harus pula ikhlas meletakkan cita-cita sebagai seorang pendidik.

Menyesalkah saya menikah di usia muda? Waktu itu, tentu saja tidak. Karena saya menikah berdasarkan cinta. Siapa sih yang bisa menghalangi seseorang yang sedang dimabuk cinta?

Tapi belakangan saya menyadari. Bahwa membangun sebuah pernikahan tidak cukup hanya bermodalkan cinta. Ada unsur-unsur lain yang patut dipersiapkan secara matang. Di antaranya adalah kesiapan lahir dan batin.

Pentingnya Mengenal Lebih Dalam Karakter Pasangan Sebelum Memutuskan Menikah

Penyendiri, introvert, dan cenderung lemah hati. Itulah gambaran tentang diri saya. Saya menyadari dan mengakui sepenuhnya kekurangan-kekurangan itu.

Akan halnya pasangan saya; orangnya supel, suka bergaul, dan keras hati. Sungguh dua karakter yang jauh bertolak belakang.

Perbedaan karakter ini sempat membuat saya terkejut. Bisa jadi pasangan saya juga merasakan hal yang sama (terkejut) saat kami benar-benar tinggal di bawah satu atap dan mulai menyadari bahwa ada karakter-karakter lain yang sebelumnya tidak terbaca.

Sekalipun di awal-awal pernikahan kami sudah berupaya (belajar) untuk memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing, toh, tetap saja setiap kali ada permasalahan yang timbul, kami belum bisa sepenuhnya seiring sejalan untuk memecahkannya. 

Masing-masing dari kami punya pandangan dan pemikiran tersendiri. Yang ujung-ujungnya terkesan lebih mengedepankan ego daripada rasa legawa.

Ibarat membangun sebuah rumah, kami ternyata minim persiapan. Pondasi kami sangat rapuh. Maka tidak heran ketika badai besar itu datang menerjang, rumah cinta yang kami bangun pun ambruk. Jatuh berkeping-keping.

Bercerai, Perbuatan Halal yang Tidak Disukai Allah.

Bercerai itu berat. Kamu tidak akan kuat!

Pernyataan di ataa pernah disampaikan oleh beberapa kerabat ketika mereka mengetahui pada akhirnya saya berniat menggugat cerai pasangan saya, 20 tahun silam.

Saya tahu mereka---para kerabat itu bermaksud baik. Berharap saya tetap mempertahankan biduk rumah tangga yang sudah terbina selama 12 tahun. 

Eman-eman. Begitu kata mereka saat mencoba mempengaruhi hati saya. Terlebih lagi dari pernikahan tersebut saya sudah dikaruniai 4 orang anak yang lucu-lucu.

Tapi kembali, keputusan ada di tangan saya. Saya yang mengalami pahit getirnya kehidupan berumah tangga, saya pula yang berhak menentukan pilihan terbaik bagi kelangsungan hidup saya.

Meski tak urung saya menangis juga usai Majelis Hakim Pengadilan Agama tempat di mana saya mengajukan gugatan cerai mengetuk palu. Meresmikan perceraian kami.

Mendadak saya merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri saya. Entah apa. Yang pasti saya merasakan hati saya kosong dan hampa. 

Kesedihan kian bertambah manakala menyadari bahwa pasti Allah sangat murka dan membenci saya karena saya telah melakukan sesuatu yang tidak Ia sukai.

Ya. Perceraian adalah perbuatan halal yang tidak disukai Allah.

Saya segera beristigfar. Memohon ampun kepadaNya.  

Selanjutnya saya gegas mengalihkan perhatian ke arah anak-anak, yang kala itu masih kecil-kecil. Tentu mereka lebih membutuhkan perhatian pascaperceraian kedua orangtuanya  ketimbang diri saya sendiri.

Alasan itulah---keberadaan anak-anak, yang membuat saya segera bangkit dari keterpurukan, mengenyahkan segala kesedihan, dan menukarnya dengan harapan-harapan baru. Dan, tentu saja untuk meraih harapan-harapan baru itu butuh perjuangan yang tidak mudah.

Bercerai adalah Pengalaman Hidup yang Tidak Ingin Saya Ulangi

Hidup ini memang selalu dipenuhi oleh kejutan-kejutan. Dulu saya menikah di usia sangat muda, bercerai pun di usia yang tergolong muda.

Lantas apa yang bisa dipetik dari pengalaman pahit namun berharga itu?

Banyak sekali.

Di antaranya; Jikalau waktu bisa diputar kembali, saya tidak ingin mengenal apa itu kata cerai. Apa itu hati yang berkhianat. Apa itu dusta, dan lain-lain. 

Terutama sekali saya tidak ingin melukai perasaan anak-anak akibat perpisahan kedua orangtuanya.

Jadi ketika pernyataan; Bercerai itu berat, kamu tidak akan kuat! Diubah menjadi pertanyaan; Apakah bercerai itu berat? Saya jawab, iya! Apakah kamu kuat? Saya jawab lagi, iyaa! 

Buktinya? 

Saya sudah hampir 20 tahun melewatinya.

***
Malang, 06 September 2020
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun