Konon, kata Ibu, di dunia ini ada satu jalan bernama Jalan Bajing. Diberi nama demikian, konon---kata Ibu lagi, karena banyak tupai-tupai berkeliaran di sekitarnya.
Entah dari mana datangnya tupai-tupai itu. Kronologinya tidak jelas. Mungkin mereka tergusur dari habitatnya yang jauh di tengah hutan. Atau, bisa jadi hewan-hewan yang mahir melompat itu memang sengaja ingin mencari suasana baru yang lebih nyaman, lebih modern ketimbang kehidupan primitif di belantara. Â
Masih kata Ibu, Jalan Bajing terkenal sebagai kawasan elit. Perekonomiannya makmur. Penghuninya hidup serba berkecukupan. Tidak kurang sesuatu apa. Tidak mengenal kata miskin seperti kami.
Mendengar cerita Ibu--- mengenai Jalan Bajing itu, saya jadi tergiur, kepingin sekali suatu hari nanti memiliki kesempatan untuk bisa berkunjung ke sana.
"Tidak sembarang orang bisa masuk ke Jalan Bajing itu, Nak. Pos penjagaannya sangat ketat. Lagi pula, kalau sudah berada di sana, kamu bisa terkena penyakit pikun. Lupa jalan menuju pulang," demikian Ibu mewanti-wanti saya.
Oh, iya. Saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Maksum. Saya dilahirkan sebagai anak tunggal. Saya lahir dan tumbuh bersama Ibu, tanpa ditunggui oleh Ayah.
Ketika saya tanyakan kepada Ibu---perihal keberadaan Ayah yang telah menghamilinya, Ibu saya hanya menjawab singkat, "Ayahmu tersesat di Jalan Bajing itu."
Mendengar penjelasan Ibu, semakin besar tekat saya untuk berkunjung ke sana. Ke Jalan Bajing itu. Selain; siapa tahu saya bisa mengubah nasib miskin bawaan sejak lahir ini menjadi lebih baik, saya berharap bisa bertemu dengan Ayah, laki-laki yang tidak pernah saya lihat dedeg dan raut wajahnya itu.
Tapi Ibu bersikeras melarang keinginan saya. Ibu khawatir saya nanti tersesat. Tidak bisa pulang. Seperti Ayah.
"Kamu satu-satunya milik ibu yang paling berharga, Nak. Kalau kamu pergi, tamatlah sudah riwayat ibumu ini."
Saya tertawa dalam hati mendengar kata-kata Ibu. Terkadang Ibu memang sangat berlebihan dalam menunjukkan kasih sayangnya terhadap saya. Sampai-sampai ia berpikir dunia akan kiamat tanpa keberadaan saya di sisinya.
***
Sekarang saya sudah dewasa. Sudah menikah. Sudah pula hidup makmur. Sementara Ibu, ia sudah meninggal dunia, secara mengenaskan, karena kesepian tinggal di rumah sendirian tanpa saya.
Tentang Jalan Bajing yang pernah diceritakan oleh mendiang Ibu, saya sudah berhasil menemukannya. Jalan itu memang ada. Bukan fiktif. Bukan sekadar cerita isapan jempol belaka.
Hanya saja, saya kira Ibu telah salah baca mengenai tulisan jalan unik itu. Tersebab penglihatannya yang sudah mengabur karena penyakit tua. Ibu tidak bisa melihat dua huruf terakhir, yakni; an, setelah kata Bajing.
Tapi itu tidak menjadi soal. Yang penting kehidupan saya kini sudah berubah. Saya sudah menjadi lelaki penuh wibawa. Tergabung ke dalam koloni orang-orang kaya baru yang tidak memiliki urat malu.Â
Urat malu? Ah, persetan! Lihat saja saya sekarang. Tanpa harus bekerja keras memeras keringat, cukup dengan menipu dan menilep uang rakyat, saya merasa diri paling hebat dan terhormat.
Saya benar-benar menikmati tersesat di "Jalan Bajingan" yang laknat!
Di alam kuburnya, Ibu pasti malu dan menyesal telah melahirkan anak seperti saya.
***
Malang, 16 Juni 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI