***
Rumah milik pendeta itu tidak terlalu bagus. Ukurannya juga sedang-sedang saja dengan gaya arsitektur kuno yang tampak suram.
Aku dan Jhon mesti menunggu agak lama sampai terdengar suara langkah kaki diseret menuju pintu.
Seorang perempuan, setengah umur, berdiri menyambut kedatangan kami.
"Nona yang tadi menelpon? Maaf harus menunggu. Suami saya masih berdoa untuk kematian salah seorang jemaatnya. Tuan Fredy."
"Bisa Anda mengantar saya ke ruangan di mana suami Nyonya tengah berdoa?" Aku merandek maju. Diikuti oleh Jhon.
Terjadi sedikit keributan. Istri Tuan Martin ternyata menghalangi keinginanku. Ia bahkan berseru lantang mengancamku.
"Saya bisa memanggil polisi untuk menangkap Anda, Nona!"
"Silakan! Itu justru lebih baik, Nyonya. Dengan begitu polisi bisa membantu saya memeriksa peti mati Tuan Fredy." Aku balas mengancamnya.
"Maksud Anda?" Perempuan itu terlihat mulai panik.
"Maksud saya sangat jelas, Nyonya."
Keributan kecil itu membuat Tuan Martin keluar dari ruang dalam. Wajahnya yang dingin menunjukkan rasa tidak suka atas kehadiranku.