Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

[Fiksi Ramadan] Hilal untuk Bilal

23 Mei 2020   04:31 Diperbarui: 23 Mei 2020   04:42 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:galaksicomputer27.blogspot.com

"Hilal telah tampak!" 

Seruan itu membuat Rahajeng menoleh sejenak. Melalui jendela kamar yang dibiarkan terbuka ia melempar pandang ke arah luar.

Dilihatnya matahari baru saja menjatuhkan diri di pelukan kaki langit. Meninggalkan jejak semburat merah yang perlahan mulai memudar.

"Kemarilah, Bu! Dari sini garis hilalnya terlihat sangat jelas!"

Bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu kembali berseru. Kakinya yang mungil berdiri tegak di atas setumpukan kayu yang berada tepat di bawah jendela kamar.

Rahajeng mendorong daun jendela lebih lebar lagi. Sekarang separo badannya sudah berada di luar.

Seraya menyentuhkan tangan di atas kepala bocah bertubuh kurus itu, ia berkata, "Hilal itu untukmu, Bi."

'Untukku?"

"Iya. Untukmu. Dan juga untuk anak-anak lain di seluruh dunia yang telah berhasil menjalankan ibadah puasa mereka dengan sempurna, selama satu bulan penuh."

Tak ada sahutan. Bocah itu masih asyik memandangi langit. Sesekali kepalanya bergerak ke samping kanan atau kiri dengan mata sedikit terpicing.

Lamat-lamat terdengar seruan azan berkumandang, memanggil untuk bersegera menjalankan ibadah sholat Magrib. 

Rahajeng kembali menyentuh kepala bocah itu.

"Yuk, kita batalkan puasa terakhir hari ini. Esok sudah lebaran. Bukankah kau ingin ikut bertakbir keliling?"

Bilal, bocah kecil itu, ia mengangguk pelan. Lalu kakinya yang lincah melompat turun dari tumpukan kayu-kayu dan berlari memutari halaman sebelum masuk ke dalam rumah.

Sepeninggal Bilal, sembari menutup daun jendela, Rahajeng menyempatkan sekali lagi menatap langit senja yang kian meredup.

"Hilal telah tampak, Rus. Itu berarti aku harus memenuhi janjiku untuk membawa Bilal kepadamu." Ia bergumam sendiri. Ada senyum sedih tergurat dari bibirnya yang kering.

Suara denting sendok beradu dengan piring membuatnya beranjak meninggalkan kamar. Ditemuinya bocah kecil yang tengah lahab menikmati sajian berbuka puasa itu. Ditungguinya sampai ia menyelesaikan suapan terakhirnya.

"Ibu tidak ikut makan?" Bilal menatap Rahajeng dengan alis bertaut.

"Nanti saja. Ibu mau sholat Magrib dulu," tangannya perlahan meraih segelas air putih di atas meja. Lalu meneguknya hingga tandas.

***
Angin bersaing kencang dengan hujan. Tapi lelaki muda itu tetap saja nekat berlari. Ia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah itu. Rumah yang memiliki halaman sangat luas, yang di sampingnya dipenuhi oleh tumpukan kayu-kayu.

Ia nyaris menangis ketika melihat perempuan tua itu. Perempuan yang mengasuhnya dari kecil. Yang sudah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri.

"Bu, aku Bilal," ia menyentuh pergelangan tangan perempuan yang duduk bersandar di atas kursi goyang yang ujung kakinya menghadap ke arah jendela. Dengan baju masih basah.

"Bilal? Bilal yang mana? Begitu banyak nama Bilal di sini," perempuan tua itu bergumam lirih. Lalu mengamati wajah kuyup di hadapannya dengan mata tak berkedip.

"Aku Bilal yang suka berdiri di atas tumpukan kayu-kayu di bawah jendela itu, Bu. Yang selalu berseru gembira setiap kali melihat hilal mulai tampak."

"Oh, kau-kah itu, Nak? Sini peluk ibu," perempuan tua itu mengulurkan tangannya dengan gemetar.

"Ibu, aku rindu."

Kali ini lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu tak dapat lagi membendung air matanya. Ia benar-benar menangis.

***
"Sungguh, kisah yang sangat mengharukan," perempuan muda yang duduk di sampingnya itu menatapnya prihatin. "Jadi itu merupakan pertemuan terakhir kalian? Maksudku, kau dan ibu tua pengasuh panti asuhan itu, sebelum beliau meninggal."

Lelaki itu mengangguk.

"Berapa lama kalian kehilangan kontak?"

"Sekitar dua puluh tahun. Sejak keluarga Pak Rusdi mengadopsiku dan membawaku tinggal di luar negeri."

"Oh. Tapi apakah panti asuhan itu sekarang masih ada?"

"Masih. Dan sebagai tanda penghormatanku pada Ibu Rahajeng, aku mengambil alih menjadi pengurus panti asuhan itu. Dengan beberapa orang yang bersedia membantuku, tentunya."

"Bawa aku ke sana. Aku ingin melihatnya!"

"Kau bersungguh-sungguh?" Lelaki muda itu menatap tak percaya. Perempuan cantik yang duduk di sampingnya itu mengangguk. 

Dan, anggukan itu membuat perasaan lelaki muda itu membuncah. Ia tak perlu bertanya apa-apa lagi. Ia pun segera melarikan mobil yang dikendarainya menuju sebuah rumah yang tak akan pernah bisa ia lupakan.

***
"Ayah, hilal telah tampak!"

Itu suara Bilal kecil, anak semata wayangnya yang belum genap berusia tujuh tahun. Buah kasihnya bersama perempuan cantik yang kini ikut mengurusi panti asuhan bernama Rahajeng itu.

"Turunlah dari tumpukan kayu-kayu itu, Bi! Nanti kamu jatuh!" Istrinya berseru panik.

"Biarkan saja. Bilal kecilmu tidak akan jatuh. Ia sudah sering melakukannya." 

Lelaki itu lalu mendorong daun jendela. Lebar-lebar.

Selanjutnya. Sembari tersenyum ia mengawasi bocah kecil yang berdiri tegak di atas tumpukan kayu-kayu itu. Sampai lamat-lamat telinganya mendengar seruan azan Magrib berkumandang. Sampai lamat-lamat pula ia mendengar suara riuh bocah-bocah yang diasuhnya berebut piring di ruang makan. 

"Hilal itu untukmu, Bi. Dan juga untuk anak-anak lain di seluruh dunia."

***
Malang, 23 Mei 2020
Lilik Fatimah Azzahra
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun