"Bilal? Bilal yang mana? Begitu banyak nama Bilal di sini," perempuan tua itu bergumam lirih. Lalu mengamati wajah kuyup di hadapannya dengan mata tak berkedip.
"Aku Bilal yang suka berdiri di atas tumpukan kayu-kayu di bawah jendela itu, Bu. Yang selalu berseru gembira setiap kali melihat hilal mulai tampak."
"Oh, kau-kah itu, Nak? Sini peluk ibu," perempuan tua itu mengulurkan tangannya dengan gemetar.
"Ibu, aku rindu."
Kali ini lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu tak dapat lagi membendung air matanya. Ia benar-benar menangis.
***
"Sungguh, kisah yang sangat mengharukan," perempuan muda yang duduk di sampingnya itu menatapnya prihatin. "Jadi itu merupakan pertemuan terakhir kalian? Maksudku, kau dan ibu tua pengasuh panti asuhan itu, sebelum beliau meninggal."
Lelaki itu mengangguk.
"Berapa lama kalian kehilangan kontak?"
"Sekitar dua puluh tahun. Sejak keluarga Pak Rusdi mengadopsiku dan membawaku tinggal di luar negeri."
"Oh. Tapi apakah panti asuhan itu sekarang masih ada?"
"Masih. Dan sebagai tanda penghormatanku pada Ibu Rahajeng, aku mengambil alih menjadi pengurus panti asuhan itu. Dengan beberapa orang yang bersedia membantuku, tentunya."