Rahajeng kembali menyentuh kepala bocah itu.
"Yuk, kita batalkan puasa terakhir hari ini. Esok sudah lebaran. Bukankah kau ingin ikut bertakbir keliling?"
Bilal, bocah kecil itu, ia mengangguk pelan. Lalu kakinya yang lincah melompat turun dari tumpukan kayu-kayu dan berlari memutari halaman sebelum masuk ke dalam rumah.
Sepeninggal Bilal, sembari menutup daun jendela, Rahajeng menyempatkan sekali lagi menatap langit senja yang kian meredup.
"Hilal telah tampak, Rus. Itu berarti aku harus memenuhi janjiku untuk membawa Bilal kepadamu." Ia bergumam sendiri. Ada senyum sedih tergurat dari bibirnya yang kering.
Suara denting sendok beradu dengan piring membuatnya beranjak meninggalkan kamar. Ditemuinya bocah kecil yang tengah lahab menikmati sajian berbuka puasa itu. Ditungguinya sampai ia menyelesaikan suapan terakhirnya.
"Ibu tidak ikut makan?" Bilal menatap Rahajeng dengan alis bertaut.
"Nanti saja. Ibu mau sholat Magrib dulu," tangannya perlahan meraih segelas air putih di atas meja. Lalu meneguknya hingga tandas.
***
Angin bersaing kencang dengan hujan. Tapi lelaki muda itu tetap saja nekat berlari. Ia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah itu. Rumah yang memiliki halaman sangat luas, yang di sampingnya dipenuhi oleh tumpukan kayu-kayu.
Ia nyaris menangis ketika melihat perempuan tua itu. Perempuan yang mengasuhnya dari kecil. Yang sudah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri.
"Bu, aku Bilal," ia menyentuh pergelangan tangan perempuan yang duduk bersandar di atas kursi goyang yang ujung kakinya menghadap ke arah jendela. Dengan baju masih basah.