"Nda, harga gula pasir naik, lho! Dari dua belas ribu menjadi delapan belas ribu," wadul si sulung beberapa hari jelang memasuki bulan Ramadan.
"Nggak papa. Yang penting barangnya ada dan masih bisa terbeli." Saya menyahut santai.
"Tapi, Nda...aku kan bakul kue. Kenaikan harga yang tidak tanggung-tanggung bisa bikin pusing dan bingung."
Sesaat saya terdiam. Saya memahami betul keluhan si sulung. Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia bisnis kuliner, tentu kenaikan harga bahan pokok yang meroket sedikit banyak berpengaruh terhadap roda perjalanan usahanya.
Simpelnya begini. Jika harga bahan pokok naik, dipastikan harga jual hasil produksi pun ikut naik. Dan tidak menutup kemungkinan harga-harga barang yang lain---selain bahan pokok, ikut menggelinjang naik. Itu sudah menjadi hukum alam.Â
Fenomena harga bahan pangan yang melonjak di setiap jelang Ramadan memang bukan hal yang baru. Bahkan seolah sudah menjadi tradisi. Terulang dan terulang lagi.
Meskipun jauh-jauh hari sebelum memasuki bulan Ramadan pemerintah sudah gembar-gembor menyampaikan statement bahwa harga bahan pokok jelang bulan puasa hingga Lebaran nanti dipastikan akan tetap stabil.
Meski pada kenyataannya, di lapangan harga-harga bahan pangan tetap saja meroket tidak terkendali.Â
Bukan menjadi rahasia umum. Fenomena kenaikan harga tidak terlepas dari ulah para penimbun. Para pengusaha nakal yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Memanfaatkan situasi sulit untuk mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri.
Bagi saya pribadi, harga bahan pokok naik atau tidak, dampaknya tidak begitu ekstrim. Karena memang kebutuhan keseharian saya tidak terlalu banyak. Sebab saya hanya tinggal berdua dengan si bungsu.Â
Tapi bagaimana dengan mereka yang hidupnya di bawah garis sejahtera yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah yang besar?
Dalam suasana normal saja (tanpa wabah covid-19), menghadapi kenaikan harga jelang Ramadan sebagian masyarakat sudah kelabakan. Apalagi di masa sulit seperti sekarang ini. Sungguh tidak bisa terbayangkan.
Memang, tidak semua harga bahan pangan mengalami kenaikan drastis. Di tempat tinggal saya masih ada satu dua bahan pangan yang bertahan di kisaran harga normal. Semisal harga telur, lauk dan sayuran.
"Berapa tempe satu iris sekarang, Pak?" tanya saya kepada tukang sayur yang lewat di depan rumah.Â
"Masih tetap, Mbakyu. Dua ribu rupiah saja. Cuma nganu, ukurannya sedikit dikurangi," tukang sayur menjawab sembari tersenyum.Â
Dalam hati saya sepakat. Satu-satunya cara untuk menyiasati kenaikan harga agar konsumen tidak balik kucing dan dagangan tetap terbeli, ya, dengan mengurangi porsi. Tapi tidak semua bahan pangan bisa diperlakukan demikian, bukan?
Benar sekali, imbas dari wabah covid-19 yang tak kunjung mereda---suka tidak suka , mau tidak mau, membuat roda perekonomian tersendat dan terasa berat.Â
Namun sekali lagi. Senyampang barang kebutuhan (terutama bahan pangan) masih ada, stock masih cukup  tersedia, insya Allah semua bisa dilewati dengan penuh rasa syukur, tenang, dan baik-baik saja.
***
Malang, 29 April 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H