Aduh!
Suatu pagi, sekitar 4 bulan lalu, saat bangun tidur tiba-tiba saya merasakan bahu dan lengan kiri ngilu. Sulit digerakkan. Sakit sekali.
Semula saya mengira ini hanya ngilu biasa. Saya lantas mengingat-ingat, mungkin saya semalam salah mengambil posisi tidur atau orang Jawa biasa menyebutnya kecetit.
Saya berusaha meredakan rasa ngilu itu dengan mengolesi balsem. Berharap rasa sakitnya segera menghilang.
Tapi hingga berhari-hari rasa ngilu disertai nyeri tidak juga kunjung membaik. Bahkan semakin parah. Terutama pada tengah malam dan saat menjelang bangun tidur.
Keadaan seperti ini membuat saya memutuskan untuk pergi ke Puskesmas terdekat. Memeriksakan kondisi bahu dan lengan saya dengan harapan secepatnya mendapat pengobatan.
Setelah diperiksa sedemikian rupa oleh dokter Puskesmas, saya diberi obat pereda nyeri dan kalsium yang harus dikonsumsi selama satu Minggu. Dengan catatan, jika dalam satu Minggu kondisi lengan tidak juga membaik, saya diminta datang kembali untuk kontrol ulang.
Melakukan Berbagai Upaya Pengobatan
Setelah bolak-balik ke Puskesmas dan menghabiskan sebegitu banyak obat-obatan--- nyaris berminggu-minggu, namun rasa nyeri dan kaku pada bahu dan lengan tak juga kunjung mereda, sayapun mulai berupaya mencari pengobatan alternatif lain.Â
Saya banyak mencari tahu dan rajin mendengarkan saran orang-orang di sekitar saya. Ada yang menyarankan minum ramuan jamu, pijat refleksi, tusuk jarum, bekam, pergi ke orang pintar dan lain-lain.
Karena benar-benar ingin sembuh, semua saran yang saya dengar segera saya lakukan. Kembali saya sibuk wira-wiri ke sana kemari. Dan hasilnya? Nihil!
Kemudian, di sela-sela rasa lelah dan putus asa yang menghinggapi pikiran, tiba-tiba saya teringat dokter langganan keluarga yang lama tidak saya kunjungi. Saya segera menelpon beliau untuk membuat janji bertemu.
Dan jadilah di suatu siang yang cerah, saya menghadap dokter sepuh itu, menceritakan penyakit yang saya derita.Â
Setelah dilakukan pemeriksaan secara teliti dan menyeluruh, oleh dokter saya didiagnosa menderita sakit Neuromusculoskeletal.
Neuromusculoskeletal?
Waduh! Sulit sekali namanya, yaa. Lidah saya sempat berkali-kali terpeleset saat menyebutkannya.
Lalu tindakan apa yang dilakukan dokter terhadap penyakit saya?
"Kamu akan saya suntik!"
"Di suntik? Di bagian mana, Dokter?"
"Tepat di bagian yang terasa sakit!"
Sekali lagi, demi ingin memperoleh kesembuhan, saya manut saja. Total ada 5 titik area sakit yang harus disuntik.
"Saya suntik di tempat yang benar-benar sakit, ya. Jika tidak, sakitmu tidak akan sembuh."
Alhamdulillah. Satu jam berselang usai mendapat tindakan injeksi, saya sudah bisa merasakan hasilnya. Bahu dan lengan kiri mulai melemas. Tidak kaku dan ngilu lagi. Dan menurut dokter, hasil kesembuhan maksimal baru bisa dirasakan selang 3 hari kemudian.
Apa Itu Neuromusculoskeletal?
Setelah kembali kontrol menemui dokter, dan keadaan bahu serta lengan saya sudah benar-benar membaik, barulah saya memberanikan diri bertanya perihal apa itu Neuromusculoskeletal.
Lalu mulailah dokter menjelaskan secara rinci tentang penyakit ini.
"Neuromusculoskeletal adalah gangguan rasa tidak nyaman yang terjadi pada area otot sendi, pembuluh darah, dan syaraf gerak. Gangguan ini biasanya meliputi bagian kepala, leher, bahu, pinggang, pinggul, lutut, kaki dan seterusnya.
Rasa tidak nyaman tersebut dalam dunia klinik dikenal sebagai gangguan sensorik positif. Sebagai tandingannya adalah gangguan sensorik negatif---yang sering dinyatakan sebagai rasa kesemutan. Atau dalam bahasa kedokteran disebut dengan parestesia."
Berikut gambar anatomi fisiologi Musculoskeletal yang sering mengalami gangguin peradangan.
Selanjutnya Dokter menyebutkan gejala-gejala Neuromusculoskeletal sebagai berikut:
-Timbulnya rasa nyeri/ngilu di area persendian
-Rasa kelelahan yang berlebihan
-Gangguan tidur
-Peradangan pembengkakan hingga muncul kemerahan
-Penurunan rentang gerak
-Kesemutan
-Matirasa atau kekakuan
-Otot melemah atau kekuatan cengkeraman berkurang
Dokter juga menjabarkan hal- hal yang menjadi pemicu terjadinya Neuromusculoskeletal. Antara lain:
1. Faktor Usia
Neuromusculoskeletal cenderung dialami oleh para lansia ketimbang orang dewasa muda. Meski ada juga ditemukan kasus Neuromusculoskeletal ini pada usia remaja dan anak-anak. Namun dalam kategori jarang.
2. Faktor Pekerjaan
Faktor ini berkenaan dengan sikap tubuh dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Semisal kegiatan yang mengharuskan kita mengerahkan kekuatan pada titik tumpu tertentu.Â
Ketika kekuatan yang diperlukan melebihi jumlah yang disanggupi oleh tubuh, hal itu bisa mengakibatkan kerusakan atau cedera otot.Â
3. Faktor Stress
Salah satu pemicu terjadinya Neuromusculoskeletal adalah stres. Stres yang diakibatkan oleh ketegangan jasmani dan rohani.
4. Faktor Keturunan
Lingkungan keluarga bisa menjadi penyumbang terbesar terjadi atau berkembangnya penyakit Neuromusculoskeletal ini.
5. Gaya Hidup
Atlet lebih berisiko mengalami gangguan Neuromusculoskeletal. Hal ini disebabkan adanya jaringan otot yang rusak akibat kelelahan. Atau mengalami trauma di suatu bagian tertentu yang disebabkan oleh gerakan tiba-tiba, kecelakaan, jatuh atau akibat benturan.
"Apa dampaknya jika Neuromusculoskeletal tidak segera ditangani dengan baik, Dokter?"
"Bisa mengakibatkan cacat dan kelumpuhan total!"
Waduh!
"Selain mendapat pengobatan berupa suntikan, pencegahan apa yang bisa dilakukan agar tidak disinggahi penyakit Neuromusculoskeletal ini, Dokter?"
"Pastikan tubuh mendapat asupan Kalsium dan Vitamin D3 yang cukup."
"Hanya itu, Dokter?" Â
"Tentu saja tidak! Ada satu hal lagi yang tidak boleh diabaikan. Kamu harus rajin berjemur matahari. Karena sinar matahari sangat baik untuk membantu proses pembentukan Vitamin D aktif di dalam tubuh. Jika kurang mendapat sinar matahari, sebanyak apa pun vitamin D yang kita konsumsi akan terbuang sia-sia, alias percuma."
***
Malang, 07 Februari 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H