Tapi saya harus mendengarkan kata-kata Mentari. Saya harus ikut dengannya ke rumah duka.
Sesampainya di rumah duka, saya masih diliputi rasa tidak percaya. Meski saya sudah melihat pagar dihiasi bendera kuning. Melihat banyak orang berbaju hitam berlalu lalang dengan wajah muram. Mendengar suara tangis di dalam rumah bersahutan.
Mentari mengajak saya masuk ke dalam rumah, tapi saya menolak. Saya memilih duduk di halaman, berjajar dengan orang-orang yang sibuk bercerita tentang kenangan mereka bersama Kumbang.
Dan sejauh itu saya masih biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa terhadap 'kekasih semalam' saya itu.
Barulah ketika keranda berselimut kain hijau itu diarak keluar, dengan potret Kumbang dalam pelukan wanita setengah baya, hati saya tiba-tiba tergetar. Lalu hancur porak poranda. Saya tak dapat lagi membendung air mata. Saya menangis sejadi-jadinya.
Mentari berkali-kali menenangkan dan menyeka air mata saya. Baru kali ini saya merasakan kehilangan yang luar biasa. Begitu berat dan menyayat. Seseorang yang baik dan sabar, yang baru saja kumiliki harus kembali ke Penciptanya.
Tuhan, mengapa begitu singkat Kau menyatukan hati kami?
Namun umur memang bukan milik kita. Tuhan lebih berkuasa dan berkehendak atas diri manusia.
Hikmahnya. Sejak kepergian Kumbang, saya belajar untuk menghargai perasaan orang lain. Khususnya kaum lelaki yang menaruh hati kepada saya. Tidak sepatutnya hati para lelaki itu diabaikan, dianggap sampah.
Bukankah ketika seseorang memutuskan untuk menaruh hati, dia membawa segala hal yang baik untuk dipersembahkan kepada pujaan hati?
Boleh menolak cinta tapi jangan sampai melukai.