Saat menginjak kelas 2 SMA, sahabat saya Mentari, mengajak saya untuk menonton grup band lokal yang terkenal di kalangan anak muda pada masa itu. Karena konser itu diadakan di lingkungan sekolah pada hari Minggu, saya pun mengiyakan.
Jarak antara rumah dengan sekolah cukup jauh, sekitar 30 menit ditempuh dengan sepeda motor jadul. Waktu itu Mentari mengenakan kaos putih dipadu padan dengan rok mini, tak lupa bando biru kesukaannya. Biar ada yang naksir, katanya.
Sesampainya di lapangan sekolah, Mentari buru-buru maju mendekati panggung. "Yang main drum itu Abang saya. Dan yang jadi vokalis itu pujaan hati saya," katanya sambil mesam-mesem mirip orang senewen.
Bubar konser, Mentari menghilang. Saya tak khawatir sama sekali. Paling-paling Mentari mengejar si vokalis dengan poni yang mirip sapu lidi itu.
Saya pun duduk sendirian di bangku taman, nyaris mati kutu saat melihat seorang pemuda datang menghampiri.
"Hai, saya Kumbang teman kakaknya Mentari."
"Saya Bunga."
Laki-laki itu terlihat sangat dewasa, sedikit tampan dan ramah. Sewaktu konser, saya sama sekali tidak memperhatikannya. Saya sibuk melihat tingkah polah Mentari yang lincah tak keruan.
Gara-gara Mentari pula, pemuda itu mengetahui nomor telepon rumah saya. Hampir setiap malam dia menelpon. Dan di saat malam Minggu, dia nekat bertamu ke rumah. Haduh!
Awalnya saya mencoba untuk berteman, berusaha bersikap ramah dan memperlakukannya seperti kawan saya yang lainnya. Semula semua berjalan sangat lancar---sebagai teman. Sampai suatu malam setelah dia berpamitan dan menunggu Ibu masuk ke dalam kamar, dia berhasil mengecup kening saya di ruang tamu.
Kalian tahu? Itu merupakan malam yang paling memalukan buat saya. Seluruh isi perut saya berasa ingin keluar. Saya mual setengah mati.