"Aku memang menginginkan anak darimu, Ratih. Tapi bukan anak cacat seperti dia!" Juna memalingkan wajahnya kembali. Langkahnya mulai terayun menuju pintu.
Sebentar kemudian terdengar suara mobil menggerung dikeluarkan dari garasi, meninggalkan halaman rumah.
***
Satu-satunya orang yang bisa diajak bicara oleh Ratih hanyalah Bik Inah. Perempuan paruh baya yang bekerja padanya sejak ia baru saja dinikahi oleh Juna itu, sudah dianggap seperti Ibunya sendiri.
"Harus bagaimana aku sekarang, Bik?" Ratih bertanya dengan mata berkaca-kaca.
"Nyonya harus tetap sabar. Jika Tuan tidak menghendaki kelahiran bocah ini, jangan diambil hati," Bik Inah mengelus lembut pundak Ratih. Memberi semangat. Lalu sigap mengulurkan tangan mengambil alih bocah mungil yang tertidur pulas di dalam pelukan Ratih.
Ratih menyeka sudut matanya yang basah dengan ujung hijab. Tubuhnya  beringsut limbung mendekati jendela. Pikirannya mengembara jauh ke mana-mana.
Tiba-tiba saja ia teringat pada Rusli. Lelaki yang pernah mengisi ruang hatinya. Lelaki yang terpaksa ia tinggalkan demi menuruti kehendak kedua orangtuanya.
"Juna lebih mapan dibanding pemuda bernama Rusli itu, Ratih. Kalau kau menikah dengan Rusli, Bapak dan Ibumu ini tidak yakin apakah kehidupanmu selanjutnya akan lebih baik. Rusli tidak bisa diandalkan. Ia hanya seorang penulis lepas yang belum jelas penghasilannya," suara tegas Ayahnya kembali terngiang.Â
Sejenak kepala Ratih terasa penuh. Satu persatu kejadian masa lalu terpapar kembali di depan matanya.
Lama perempuan itu terhanyut dalam slide-slide kenangan. Hingga tidak menyadari, ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasimya dari luar pagar.
Mata Rusli.
Bersambung...
***
Malang, 23 Januari 2020
Lilik Fatimah Azzahra