Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[PCB] | Pesan Cinta dari Masa Lalu

23 Januari 2020   06:06 Diperbarui: 23 Januari 2020   06:29 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:steam.training.com

#ProyekCerbung

No. urut 01


Lelaki itu duduk di dekat jendela. Menatap kejauhan sembari menangkup pinggang cangkir. Di belakangnya berdiri seorang perempuan bersama bayi mungil di dalam pelukannya.

Nama lelaki itu Juna. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Dan Ratih, perempuan yang menggendong bayi mungil itu, usianya lima tahun lebih muda dari usia Juna. 

Sepintas lalu kedua pasangan muda itu tampak baik-baik saja.

Tapi benarkah begitu? 

Juna masih belum beranjak dari duduknya. Sementara Ratih juga masih berdiri terpaku menatap punggung bidang suaminya.

Udara pagi itu sedang tidak bersahabat. Mendung menggelayut suram. 

"Kau tidak ingin memangku sebentar bayi kita ini, Jun?" Ratih membuka suara. Berusaha mencairkan keheningan. Tangannya yang kurus mencondongkan tubuh bocah berusia dua bulan itu ke depan sedikit.

"Tidak," Juna menjawab datar. Tanpa menoleh.

"Kenapa? Bukankah sudah lama kita merindukan kehadiran tangis bayi di rumah ini?" Ratih menarik kembali tubuh bayinya. Mendadak dadanya terasa penuh. Juna menyeruput kopinya hingga tandas. Lalu berdiri. Meraih jaket yang tersampir di lengan kursi dan menatap tajam ke arah Ratih. 

"Aku memang menginginkan anak darimu, Ratih. Tapi bukan anak cacat seperti dia!" Juna memalingkan wajahnya kembali. Langkahnya mulai terayun menuju pintu.

Sebentar kemudian terdengar suara mobil menggerung dikeluarkan dari garasi, meninggalkan halaman rumah.

***
Satu-satunya orang yang bisa diajak bicara oleh Ratih hanyalah Bik Inah. Perempuan paruh baya yang bekerja padanya sejak ia baru saja dinikahi oleh Juna itu, sudah dianggap seperti Ibunya sendiri.

"Harus bagaimana aku sekarang, Bik?" Ratih bertanya dengan mata berkaca-kaca.

"Nyonya harus tetap sabar. Jika Tuan tidak menghendaki kelahiran bocah ini, jangan diambil hati," Bik Inah mengelus lembut pundak Ratih. Memberi semangat. Lalu sigap mengulurkan tangan mengambil alih bocah mungil yang tertidur pulas di dalam pelukan Ratih.

Ratih menyeka sudut matanya yang basah dengan ujung hijab. Tubuhnya  beringsut limbung mendekati jendela. Pikirannya mengembara jauh ke mana-mana.

Tiba-tiba saja ia teringat pada Rusli. Lelaki yang pernah mengisi ruang hatinya. Lelaki yang terpaksa ia tinggalkan demi menuruti kehendak kedua orangtuanya.

"Juna lebih mapan dibanding pemuda bernama Rusli itu, Ratih. Kalau kau menikah dengan Rusli, Bapak dan Ibumu ini tidak yakin apakah kehidupanmu selanjutnya akan lebih baik. Rusli tidak bisa diandalkan. Ia hanya seorang penulis lepas yang belum jelas penghasilannya," suara tegas Ayahnya kembali terngiang. 

Sejenak kepala Ratih terasa penuh. Satu persatu kejadian masa lalu terpapar kembali di depan matanya.

Lama perempuan itu terhanyut dalam slide-slide kenangan. Hingga tidak menyadari, ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasimya dari luar pagar.

Mata Rusli.

Bersambung...

***

Malang, 23 Januari 2020

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun