Deborah akhirnya pergi sendiri. Menikmati alam terbuka di sekitar Wooden House.
Bagi Deborah Wooden House bukanlah tempat yang asing. Sudah berkali-kali ia berkunjung dan menginap di sini. Kadang ia datang sendiri atau bersama keluarga. Ia hafal betul lika-liku bangunan tua peninggalan zaman kolonial itu. Bagai berada di rumah sendiri.
Di sini, di Wooden House ini, Deborah memiliki tempat favorit, yakni pondok kecil terbuat dari papan kayu yang berada di samping kiri bangunan induk. Dari pondok itu ia bisa menikmati alam sekitar sepuasnya sembari merebah santai di atas hammock.
Dan ia baru saja sampai di pondok itu ketika pandangannya terpuruk pada sosok pemuda yang amat dikenalnya.
Martin.
Martin sepertinya tidak menyadari bahwa Deborah tengah mengawasinya. Ia terus saja berjalan di samping pondok, melewati jalan setapak menuju arah lembah tanpa menoleh.Â
Sejenak Deborah melupakan keinginannya untuk berleha-leha di atas jaring-jaring ayunan. Ia gegas menyusuri jalan setapak di sepanjang sisi pondok. Mengikuti Martin.
Dan jalanan kian menurun hingga di bibir lembah. Deborah berhenti sebentar, menatap sekeliling. Ia mulai menimbang-nimbang. Beranikah ia melanjutkan langkah mengikuti Martin? Mengingat jalanan setapak yang akan dilaluinya cukup curam.Â
***
Deborah memutuskan untuk melanjutkan. Ia mulai menuruni punggung lembah yang di sisi kanan kirinya banyak ditumbuhi pohon pinus.
Sekitar tiga puluh meter perjalanan, jalan setapak di hadapannya mendadak buntu. Tidak berkelanjutan lagi.