Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kendedes "Manjing"

8 Desember 2019   04:06 Diperbarui: 9 Desember 2019   21:08 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebaya warna hijau muda berhiaskan manik-manik di sekitar leher dan lengan masih tergeletak di atas kursi. Lengkap dengan kain batik motif parang rusak berwarna putih gading.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini ia didapuk lagi sebagai Nyai Ken Dedes dalam arak-arakan acara bersih desa. Terhitung sudah tiga dasa warsa ini ia berperan sebagai sosok yang dielu-elukan itu. Sejak usianya masih sangat belia. Tujuh belas tahun.

"Tahun depan harus sudah ada menggantikan posisiku," ia berkata lirih, setengah mengeluh.

"Ken Dedes sudah manjing di ragamu, Nes. Tidak ada yang bisa menyingkirkanmu," sebuah suara, bernada berat menimpali.

"Kau benar. Dua kali aku meminta pada sesepuh kampung agar mereka mencari sosok lain--selain aku. Tapi apa yang terjadi?" perempuan yang dipanggil Nes itu menghela napas panjang. Pikirannya mengembara ke mana-mana. 

Ia teringat bagaimana setiap kali dirinya berusaha mangkir sebagai Nyai Ken Dedes, sebuah peristiwa mengenaskan pasti terjadi.

"Warga desa tentu saja tidak ingin acara ruwatan berakhir kisruh. Cukup Srinem dan Kartini saja yang menjadi korban."

Ya. Srinem dan Kartini. Dua perempuan yang pernah dipilih menggantikan posisinya itu harus mengalami luka tusukan yang cukup parah di lambungnya.

Entah siapa yang melakukannya.

***

Neswari. Nama perempuan itu. Ia memiliki paras cantik khas perempuan Jawa. Kulitnya sawo matang. Hidungnya bangir. Sorot matanya tajam. Meski usianya sudah merambah ke angka empat puluh tujuh tahun, tampilannya boleh dibilang masih menawan.

Neswari tinggal di Dukuh Tumapel. Sebuah dukuh yang terletak di perbatasan antara Kota Malang dan Kota Lawang, Jawa Timur. Dukuh yang dalam catatan sejarah dipercaya sebagai cikal bakal berdirinya Kerajaan Singasari.

"Sampai detik ini aku masih gagal paham. Mengapa harus Ken Dedes yang menjadi pusat perhatian? Mengapa bukan Ken Umang?" Neswari bergumam seraya memiringkan tubuhnya sedikit.

"Itu karena perjalanan kisah asmaranya bersama Ken Arok yang melegenda," kembali suara berat itu menimpali. 

Neswari tersenyum tipis. Matanya yang semula terpejam terbuka sedikit. "Bukankah bisa saja sejarah keliru menerjemahkan kisah?"

"Kau seperti tidak puas dengan perjalanan takdir Ken Dedes, Nes? Ada apa?" suara berat itu menegurnya.

"Bukan tidak puas. Aku hanya ingin meluruskan sejarah yang terlanjur melenceng,"

"Terlanjur melenceng? Bagian mana yang kau maksudkan?"

"Bagian yang menyatakan bahwa...Ken Arok-lah pembunuh Tunggul Ametung. Dan Tohjoyo pembunuh Ken Arok."

"Jadi menurutmu sebenarnya tidak begitu?"

Neswari tertawa.

"Ya. Yang benar terjadi adalah, pembunuh berdarah dingin itu tak lain Ken Dedes sendiri!"

***

Masih tersisa waktu cukup panjang untuk mempersiapkan diri tampil sebagai Ken Dedes. Neswari menggeser kursi tepat di depan cermin. Dan cermin buram yang menempel pada dinding terbuat dari gedhek itu sesekali bergoyang.

"Sampai kapan wajah ini dititipkan padaku?" Neswari bertanya pada dirinya sendiri. Lalu mendekatkan muka nyaris menyentuh cermin. 

Seekor cicak yang merayap berhenti mendadak. Tepat di pojok kanan cermin seolah ingin mengatakan sesuatu.

Plup!

Neswari menjentikkan ujung jemarinya. Menghalau cicak yang menatapnya tak berkedip. Cicak itu terkejut dan melarikan diri dengan ekor melenggak-lenggok tak beraturan.

"Kau selalu saja mencampuri urusanku, Kanda Ametung! Penyamaranmu merupa cicak kali ini terlihat sangat konyol," Neswari bergumam kesal. Bersamaan dengan itu terdengar musik gamelan mulai rampak ditabuh.

Neswari mengamati sekali lagi wajahnya yang terpantul di dalam cermin. Pada menit kesekian mata sayunya terkatup. Dan, tiba-tiba sepasang tangan tak terlihat menariknya masuk menembus ke dalam cermin.

***

Tubuh kurus itu terhempas dengan keras di suatu tempat. Kain sarung yang lusuh telah berganti dengan busana indah gemerlapan.

Ken Dedes telah manjing!

Neswari perlahan meraba kedua daun telinganya. Bersumping.

Perempuan paruh baya itu tersenyum. Menyadari dirinya telah sepenuhnya berubah menjadi Ken Dedes. Bukan lagi Neswari. Kini ia adalah permaisuri dari seorang petinggi wilayah Tumapel.

Kakinya melangkah menuju sebuah bilik di mana ia harus duduk dan menunggu kedatangan suaminya, Akuwu Tunggul Ametung.

Neswari paham betul apa yang mesti dilakukannya.

Dalam catatan sejarah, Ken Dedes digambarkan sebagai sosok perempuan yang lemah lembut. Tanpa daya. Bahkan ketika diculik dari padepokan Ayahandanya---Begawan Purwa, ia menyerah pasrah.

Tapi benarkah kisah sebenarnya demikian? Benarkah Tunggul Ametung telah menculik Ken Dedes? Bagaimana jika kisah sebenarnya tidak seperti itu? Bagaimana jika perjalanan sejarah sengaja dibelokkan?

Dalam sosok manjing Ken Dedes, Neswari tersenyum. Lalu tangannya yang kurus membuka daun jendela. Ia butuh angin segar. Pikirannya sejak tadi rudek dipenuhi oleh beragam pertanyaan.

Ia memutuskan memanggil Nyai Gayatri. Abdi dalem yang selama ini selalu setia mendampinginya.

"Sendiko dawuh, Gusti Putri," Nyai Gayatri menangkupkan kedua tangan begitu memasuki bilik keputren.

"Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, Nyai." Ken Dedes memberi tanda dengan telunjuk jarinya, meminta Nyai Gayatri untuk mendekat.

Selanjutnya, dua perempuan berbeda kasta dan usia itu duduk berdampingan. Satu sebagai pencerita, dan satunya lagi bertindak sebagai pendengar.

"Kau percaya apa pun yang aku katakan, Nyai?" Ken Dedes melontarkan sebuah pertanyaan sebelum ia memulai kata-katanya. Nyai Gayatri spontan mengangguk.

"Sekalipun menurutmu apa yang kukatakan itu sebenarnya tidak benar?" sorot mata tajam Ken Dedes menembus tepat pada ulu hati sang abdi dalem, membuat perempuan paruh baya itu gugup.

"Tidak perlu takut, Nyai. Aku hanya ingin memastikan, bahwa sekalipun peradaban telah berubah, watak manusia tidak akan pernah bisa berubah. Khususnya bagi mereka yang terlalu mencintai pekerjaannya dan juga---tuannya." Ken Dedes menyentuh punggung perempuan tua itu. Lalu merogoh kemben, mengeluarkan sekeping logam emas.

***

Derap kaki membuat Ken Dedes tergesa menggeser daun pintu. Dilihatnya Tunggul Ametung---suaminya, sudah berdiri di hadapannya dengan wajah kuyu.

"Perang membuatku lelah, Dinda," Tunggul Ametung menghempaskan diri di atas kursi. Ken Dedes hanya diam.

"Kau tidak kecewa padaku, kan, Dinda? Meskipun---sejak memboyongmu kemari aku belum sempat menyentuh tubuh molekmu." Tunggul Ametung memejamkan mata. Tidur.

***

Pertemuan itu jauh-jauh hari sudah direncanakan. Bukan secara kebetulan. Ia yang menyuruh Ken Arok bekerja menjadi tukang kuda milik suaminya. Ia pula yang meminta pada suaminya, Akuwu Tunggul Ametung agar bersedia menerima anak angkat Ki Bango Samparan itu.

Jadi siapa sebenarnya yang jatuh cinta terlebih dulu? Pemuda itu ataukah dirinya?

Lagi-lagi Ken Dedes tersenyum. Dengan kekuasaannya mudah saja baginya untuk mewujudkan segala keinginan. Semudah membalikkan telapak tangan.

Ia tidak memungkiri. Bahwa dirinya telah jatuh hati pada sosok pemuda berandalan itu.

Arok.

Meski ia tahu, Arok sudah menjalin asmara dengan Ken Umang, putri semata wayang Ki Bango Samparan.

"Akulah yang mengiming-imingi ia, Nyai. Aku telah menjanjikan kedudukan seorang Akuwu, menggantikan Kangmas Tunggul Ametung. Sebab kupikir pemuda itu jauh lebih cocok bersanding denganku ketimbang suamiku yang haus peperangan, yang tampak perkasa dari luar tapi lemah di atas tempat tidur," kata-kata itu terus terngiang di telinga Nyai Gayatri.

 "Dengar Nyai, suatu malam nanti, aku akan membunuh Kangmas Tunggul Ametung," Ken Dedes melanjutkan kalimatnya dengan mata dingin.

"Ndoro..." tubuh Nyai Gayatri mendadak gemetar. Perempuan tua itu merasa ngeri mendengar penuturan Ken Dedes.

"Selanjutnya aku akan mengangkat derajat pemuda bernama Arok itu setinggi-tingginya untuk memimpin Tumapel! Kami akan menjadi pasangan yang melegenda, Nyai," senyum Ken Dedes kian melebar.

"Dengan membunuh, Ndoro? Itu---terdengar sangat mengerikan," peluh mulai berjatuhan membasahi kening keriput Nyai Gayatri.

"Kisah tidak akan menarik tanpa adanya konflik, Nyai," Ken Dedes mendekatkan bibirnya hingga nyaris menyentuh cuping telinga perempuan tua itu. "Aku hanya ingin mengatakan hal yang sebenarnya. TBahwa tidak pernah ada penculikan atas diriku. Akulah yang kabur dari padepokan Ayahanda. Atas kehendakku sendiri. Sebab aku lelah, Nyai. Lelah menjadi putri seorang begawan yang harus selalu tampil baik dan sempurna."

Sebuah pengakuan yang mencengangkan.

Lalu mendadak terdengar tawa melengking. Memecah kesunyian.

Dua laki-laki berlari memasuki rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu itu. Sigap mengikat kedua tangan Neswari dengan tali. Neswari yang tengah tertawa terbahak-bahak di depan cermin, sontak terdiam.

"Kita kirim saja perempuan ini ke RSJ sebelum ia mengamuk seperti tahun-tahun lalu saat melihat iring-iringan kereta kencana itu lewat!" salah seorang dari laki-laki itu berseru.

Mendengar kata RSJ Neswari tersentak. Ia seperti terbangun dari mimpi buruk.

"Konspirasi macam apa lagi ini? Bukankah hanya aku yang pantas menjadi sosok Ken Dedes dan duduk anggun di kursi kereta kencana yang akan kalian kirab berkeliling desa?" Neswari mulai meronta-ronta. Mencoba melepaskan diri dari ikatan.

"Astaga! Dia sudah menyiapkan pisau pula!" salah satu dari laki-laki itu merampas sebuah pisau dari balik kutang Neswari.

"Dengar! Soal dua perempuan malang itu---Srinem dan Kartini, aku mengakui. Baru dua orang itu saja yang kulukai. Belum tujuh turunan seperti yang tercatat dalam buku sejarah!"

Sepertinya dua petugas keamanan itu tidak perlu lagi mendengarkan ocehan Neswari, perempuan pengidap Skezofrenia yang hidup sebatang kara itu. Yang selalu merasa dirinya adalah titisan Ken Dedes.

Gending marak ati mulai dibunyikan. Iring-iringan pawai bergerak perlahan menyisir desa.

Selanjutnya, ketika mobil putih itu berpapasan dengan kereta kencana tiruan, Neswari berteriak histeris. Ia melihat di dalam kereta itu duduk sosok yang amat dikenalnya.

Nyai Gayatri.

"Kubunuh kau, Gayatri!"

***

Malang, 08 Desember 2019

Lilik Fatimah Azzahra

*Manjing (Bahasa Jawa) = Merasuk

 

  

 

   

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun