"Apakah kau yakin aku benar-benar tidak bisa menyakitimu, Riana?"
Semilir angin menyentuh lembut ujung telingaku. Mengantarkan kembali kalimat tanya yang sama, yang pernah kau ucapkan beberapa tahun silam.
Bola di tanganku perlahan kubiarkan terjatuh. Menggelinding beberapa senti menjauhi ujung kakiku. Membuat bocah kecil yang berdiri termangu itu gegas berlari dan menggenggam erat jemari tangan kurusku.
"Kita pulang, Ma. Udara berangin di sini sangat tidak baik untuk kesehatan Mama."
Aku tergugu.Â
Kau sudah berhasil menyakitiku, Zein. Sangat berhasil!
Kau tahu kenapa?Â
Karena bocah kecil yang membimbingku berjalan menuju pulang itu, ia adalah anak tiriku. Hasil hubunganmu dengan asisten rumah tangga kita yang kupungut dari kampung. Yang menghembuskan nafas terakhir saat melahirkan bocah lucu menggemaskan itu.
Bersyukurlah ada bayi mungil itu, Riana. Ia bisa melengkapi hidupmu menjadi seorang ibu karena kamu--mandul.
Mendadak aku ingin menendang gundukan tanah merah di samping taman ini, Zein. Di mana belum genap empat puluh hari kau pergi menyusul perempuan yang telah merebut hatimu itu!
***