"Kapan terakhir kali aku menyakitimu, Riana?"
Pertanyaan itu sungguh membuatku ingin tertawa. Sejak kapan kau bisa menyakitiku, Zein? Tidak akan pernah! Kau itu terlalu lembut. Bahkan terhadap seekor nyamuk yang mengisap kenyang darahmu pun, kau tak akan tega menyakitinya.
"Apakah seseorang yang terlalu mencintai tidak mungkin menyakiti, Riana?"
Kembali kau mengusikku dengan tanya itu. Kau memang selalu begitu, Zein. Selalu ingin mengusikku dengan mengatakan hal-hal yang membuatku mendekatkan wajah. Lalu menyanggah dengan dinamika suara naik turun. "Apapun itu kau tidak akan pernah bisa menyakitiku! Karena kau terlalu mencintaiku..."
"Apakah jika suatu saat aku berhasil menyakitimu, kau akan membenciku, Riana?"
Hup!
Aku menangkap lemparan bola dari bocah kecil yang tengah berlari riang di atas rerumputan. Sore itu. Di sebuah taman. Ketika cuaca sedang cerah dan sedikit berangin.
"Ayo lempar balik bolanya ke sini!" suara nyaring itu tidak saja membuyarkan lamunanku. Tapi sekaligus mengingatku kembali kepadamu. Bukankah kau juga pernah melakukannya? Melemparkan bola tepat di hadapanku. Lalu memintaku dengan suara lantang agar melentingkan bola itu kembali ke arahmu.
"Sekuatnya, Ma!"
Kalau saja tidak ada embel-embel kata 'Ma' di belakang teriakan bocah laki-laki usia lima tahun itu, mungkin aku mengira kaulah yang berseru padaku itu, Zein. Sungguh. Telingaku tak bisa lagi membedakan antara suaramu atau suara bocah lucu menggemaskan itu.
Aku masih geming memegang erat bola di tanganku. Membiarkan bocah kecil itu lama berdiri menunggu.