Beberapa kendaraan terpaksa mengalah, menepi sejenak ketika mobil ambulans itu melintas dengan suara sirine meraung-raung.
Seorang laki-laki duduk terpekur di jok belakang. Matanya sayu menatap sesosok tubuh yang terbujur kaku di hadapannya.
Aliz.
Iya. Tubuh yang tertutup kain putih itu memang Aliz.
Laki-laki itu mengusap sudut matanya yang tiba-tiba saja menggenang. Ada rasa penyesalan yang tidak bisa ia ungkapkan lewat kata-kata. Ia hanya bisa membatin sembari tangannya sesekali mengusap lembut tubuh yang sudah mendingin itu.
Ah, kalau saja pagi tadi ia punya waktu untuk menemani Aliz pergi. Tentu kejadian naas itu tidak akan pernah terjadi.
Kembali laki-laki itu menundukkan wajah. Kali ini ia tidak bisa lagi mencegah buliran bening itu meluncur. Ia menangis, sesenggukan. Hingga tubuhnya yang jangkung terguncang hebat
Mobil berhenti di sebuah tempat. Bang Jack---sang sopir gegas melompat turun lalu berjalan memutar untuk membantu membuka pintu mobil bagian belakang.Â
Sembari melongokkan wajah lelaki berwajah sangar tapi berhati lembut itu berkata, "Mas, kita sudah sampai."
"Tinggalkan kami berdua di sini," Daeng Arman menyahut tanpa menoleh.Â
"Tapi, Mas," Bang Jack ingin mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba saja Daeng Arman merampas kunci ambulans yang berada di tangannya.
***
Kendaraan berwarna putih itu meluncur dengan kecepatan tinggi menuju arah selatan. Melewati jalanan menanjak dan berliku. Membuat tubuh kaku di jok belakang berkali terlonjak dan nyaris terjatuh.Â
"Kau kejam Aliz! Tega meninggalkan aku secepat ini. Siapa lagi yang akan mencium lembut ujung kakiku saat aku terbangun di pagi hari?" Daeng Aman membanting setir ke kiri dengan kasar. Terdengar roda mobil mendecit keras.
Sampai akhirnya mobil berhenti di dataran yang cukup tinggi.Â
"Maafkan aku Aliz. Aku terpaksa melakukannya," Daeng Arman turun perlahan. Meraih tubuh kaku itu dan membawanya berdiri tepat di bibir jurang.
"Selamat tinggal, Alizku sayang," laki-laki itu mendaratkan satu kecupan sebagai penghormatan terakhir. Setelahnya, dengan sekali hentak ia melontarkan tubuh mungil itu hingga berguling-guling dan menghilang di dasar jurang.
Ponsel berdering.
 "Daeng! Apa yang sudah kau lakukan? Kembalikan mobil ambulans itu! Atau polisi akan segera menangkapmu!"
Itu suara Rara. Kekasihnya.
Daeng Arman tersenyum. Sembari berjalan menuju mobil ia menanggapi omelan Rara dengan santai.
"Honey, aku hanya meminjam mobil ambulans itu sebentar untuk membuang mayat Aliz."
"Astaga Daeng! Kenapa tidak kau kubur saja kucing kesayanganmu itu di halaman rumah?"
Kali ini Daeng Arman pura-pura tidak mendengar.
***
Malang, 19 November 2019
Lilik Fatimah AzzahraÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H