Pemuda ini memang amat menyebalkan! Tapi--ia terlihat jujur. Bisa jadi aku telah salah menuduh. Bisa jadi bukan dia pencuri Kitab Kalamenjara itu!
Sri Kantil mengomeli dirinya sendiri.
Ayo, jangan membuang-buang waktu lagi! Ia bisa benar-benar mati! Dan kau akan sendirian di dunia ini!Â
Suara-suara itu membuat wajah Sri Kantil memerah.
Senja mulai menghilang di balik punggung Lembah Senduro. Sri Kantil beringsut menjauh beberapa meter dari tubuh pendekar gondrong itu. Sejenak ia memperbaiki posisi duduknya. Menekuk kedua kaki. Bersila dengan tubuh tegak dan dada membusung. Pandangan matanya diarahkan lurus ke depan.
Gadis itu mulai menghimpun tenaga yang sempat terkuras. Sembari memejamkan mata ia menghirup udara segar di sekitarnya sebanyak-banyaknya. Sementara kedua tangannya ditangkupkannya di atas dada.
Beberapa menit kemudian, entah dari mana datangnya, segumpal kabut berwarna pekat muncul bergulung-gulung. Disertai bunyi gemuruh dan gemeretak reranting pepohonan yang patah.Â
Kabut pekat itu melaju ke arah Sri Kantil yang duduk anteng. Berpusaran dengan suara mendesing seperti gasing. Lalu tiba-tiba saja tubuh pendekar perempuan itu terangkat ke atas berjarak sekitar tiga jengkal dari permukaan tanah.
Tubuh itu---masih dalam posisi duduk bersila, melesat secepat angin menuju ke arah pendekar gondrong yang masih terbujur diam tak bergerak.
Tepat di atas tubuh pemuda itu, Sri Kantil menjulurkan kedua tangan di depan dada. Gerakan semirip menadah hujan itu membuat tubuh pendekar gondrong terangkat, semakin tinggi dan berhenti sejajar dengan posisi tubuh Sri Kantil.
Pemandangan ganjil pun terlihat. Dua sosok pendekar mengambang di udara.Â