Akibat terkena serangan pukulan maut Sri Kantil, pendekar gondrong tak bernama itu terluka parah. Dan Sri Kantil mendadak sadar, pendekar itu bisa mati jika tidak segera mendapat pertolongan.
 ------
Bag. 2Â Tembang Lelayu Lembah Senduro
Sesaat lamanya Sri Kantil duduk terdiam. Hatinya diselimuti kebimbangan. Antara harus menggunakan Jurus Gelora Napas Buatan atau tidak. Sebab, jika ia terpaksa menggunakan jurus itu ada risiko berat yang harus ia tanggung. Sebagian ilmu kesaktiannya akan lenyap. Dan jujur, Sri Kantil tidak menginginkan hal itu terjadi.
Tapi sepertinya gadis itu tidak mempunyai pilihan lain. Keadaan pendekar gondrong yang terbujur kaku di hadapannya terlihat semakin mengkhawatirkan. Sekujur tubuh pemuda itu mulai membiru dan mengeluarkan asap berwarna kuning.
Sri Kantil menghela napas panjang. Ia amat menyesal. Pukulan maut yang beberapa waktu lalu dihantamkan ke arah dada pendekar gondrong itu memang bukanlah pukulan biasa. Pukulan itu mengandung energi racun. Dan barang siapa yang terkena pukulan tersebut, kecil kemungkinan nyawanya akan tertolong.
Tidak!
Sri Kantil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia tidak mau kehilangan lagi. Setelah kematian Nini Surkanti beberapa waktu lalu, kemudian disusul Ibunya---Roro Saruem, ia menolak bersedih hati lagi.
Sejenak Sri Kantil teringat bagaimana pendekar gondrong itu pernah menyelamatkan dirinya dari kejaran Pendekar Caping Maut. Peristiwa itu sempat membuatnya merasa berhutang budi. Meski pada akhirnya perasaan hutang budi itu harus pupus akibat hilangnya Kitab Kalamenjara.
Perlahan tangan mungil Sri Kantil menyentuh pipi pendekar gondrong yang semakin dingin dan membeku itu.