Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

[Bag 1] Misteri Air Terjun Coban Pelangi

15 September 2019   05:17 Diperbarui: 19 September 2019   08:13 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Murid-murid Bu guru. Foto dokpri

Udara pagi di bulan Maret terasa hangat. Matahari mengintip dengan senyumnya yang cerah. Sekelompok anak usia remaja berjalan berderap bagai sepasukan tentara. Mereka terdiri dari 3 anak laki-laki dan 6 anak perempuan. Tawa canda mereka terdengar riang dan begitu lepas.       

Rombongan kecil itu berhenti di sebuah rumah sederhana bercat abu-abu. Seorang perempuan, usia sekitar empat puluh tahun menyongsong kedatangan mereka di ambang pintu.

Anak-anak berebut menyalaminya.

"Kita siap berangkat?"  tanya perempuan itu.

"Siiiaaap Buuu!" pekik anak-anak penuh semangat. Seekor ayam yang tengah melintas berlari giras, terkejut mendengar keriuhan yang tiba-tiba itu.

"Mobil sudah menunggu di depan gang. Ayo kita bergegas!" perempuan yang ternyata guru Bimbel bocah-bocah SMP itu memberi  komando. Anak-anak pun berlarian saling mendahului.

***

Rombongan itu bernama Laskar Pelangi. Yup, mereka sengaja memakai nama itu. Karena tujuan wisata kali ini adalah air terjun Coban Pelangi. Air terjun yang terletak di daerah Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Sepuluh menit kemudian mobil sudah melaju di atas jalanan beraspal dengan tenang. Sepanjang perjalanan jendela mobil sengaja dibiarkan terbuka agar anak-anak bisa menikmati pemandangan alam yang masih asri. Jajaran kebun apel mulai terlihat ketika mobil mulai memasuki kawasan Desa Poncokusumo.

"Adit. jangan keluarkan tanganmu!" tegur Bu guru saat melihat salah satu muridnya berbuat iseng dengan melambai-lambaikan tangan. Mendengar teguran Bu guru, anak  itu menarik tangannya kembali sembari meringis. Menunjukkan giginya yang gingsul.

***

Air terjun Coban Pelangi tersembunyi jauh di bawah kaki bukit. Jalan menuju lokasi yang berkelok-kelok dan agak curam merupakan tantangan tersendiri bagi mereka yang hobi menjelajah alam. 

Anak-anak sudah tidak sabar lagi ingin segera melihatnya.

"Jangan terpisah dari rombongan. Jalan menuju lokasi sangat licin. Sebaiknya kita melepas alas kaki," saran Bu guru. Anak-anak setuju. Dan lihatlah, mereka bergegas  melempar sepatu-sepatu yang dikenakan  ke dalam mobil begitu saja.

"Pak sopir, nitip barang-barang kami,  ya..."  Savina berseru riang.

"Siyaap!" Pak sopir mengacungkan jempol.

"Ayo, anak-anak kita segera turun!" suara Bu guru membuat anak-anak yang semula tercerai berai segera berkumpul.

Seperti kata Bu guru, jalan setapak  menuju air terjun memang sangat licin karena semalam turun hujan. Tapi kondisi  itu sama sekali tidak menyurutkan semangat anak-anak. Mereka masih saja tertawa-tawa tiada henti. Bahkan ketika salah seorang teman terpeleset jatuh, mereka tetap saja tertawa.

Mendekati area air terjun, udara mulai terasa dingin dan lembab. Matahari yang terik tidak mampu menembus sampai ke dasar lembah. Pepohonan yang rimbun telah menghalangi cahayanya.

"Masih jauhkah air terjunnya, Bu?" tanya Javier sembari melipat tangan di atas dada menahan rasa dingin. Anak itu lupa mengenakan jaket.

"Kurang lebih setengah kilo meter lagi," jawab Bu guru.

"Bu, aku kepingin pipis!" seru Adit tiba-tiba. Bu guru menatap Adit yang meringis sembari memegangi perutnya.

"Jangan ngompol di celana, Dit!" seloroh Yani.

"Di ujung tikungan itu ada toilet umum, kamu bisa pipis di sana," Bu guru memberi tahu. Anak-anak berdengung. Seperti suara lebah. Berlarian menuju kamar kecil.

Sepuluh menit berselang, rombongan melanjutkan perjalanan kembali. Di kelokan terakhir mereka bertemu beberapa pengamen yang tengah mendendangkan lagu dengan suara merdu mendayu-dayu.

Beberapa anak menghentikan langkah mereka.

Sementara beberapa yang lain menghambur. Menyongsong air terjun yang mulai terlihat melambai-lambai memamerkan pesonanya.

Murid-murid Bu guru. Foto dokpri
Murid-murid Bu guru. Foto dokpri
***

Bu guru membiarkan murid-muridnya bersenang-senang sesuka hati. Bermain dan berfoto ria di sekitar area air terjun yang membuih. Tawa mereka berpadu dengan gemericik air terjun yang menderas jatuh. 

Bu guru duduk menunggu, menyendiri di atas sebuah batu besar. Terpukau oleh keindahan air terjun Coban Pelangi yang airnya tak henti mengalir dari ketinggian sekitar 110 meter itu. Air yang meliuk-liuk bak selendang bidadari. Dengan bias warna pelangi yang muncul saat sinar matahari berhasil menyentuhnya.

Bu guru menyungging senyum. Suasana alam yang menawan itu mengingatkannya pada kisah dalam novel yang pernah dibacanya. 

Sherlock Holmes!

Pada episode Air Terjun  Reichenbach, terjadi pergulatan sengit antara Tuan Sherlock dan musuh bebuyutannya--Profesor Jim Moriarty. Kisah paling seru dan paling mendebarkan yang pernah dibaca oleh Bu guru.

Tiba-tiba saja perempuan itu seolah melihat kisah yang pernah dibacanya itu hidup. Dan mendadak pula ia melihat sosok Sherlock Holmes dan Moriarty berdiri berhadapan di atas tebing. Siap bertarung. 

Bu guru menahan napas ketika menyaksikan kedua tokoh itu saling mendorong, mencekik, memukul dan berakhir tragis. Salah satu dari mereka terjatuh.

Semuanya tampak begitu nyata.

Bu guru terkesiap. 

Sosok yang terjatuh itu pastilah Jim Moriarty. Ia yakin itu.

Sementara sosok yang lain, yang masih berdiri di atas tebing dengan jubah hitam panjang berjuntai tak lain adalah Tuan Sherlock Holmes!

Bu guru hampir tak mempercayai penglihatannya. Ia melihat sosok Moriarty terkapar dengan kepala remuk dan darah mengalir membasahi bebatuan tak jauh darinya. 

Sontak tubuh Bu guru menggigil.

Sementara nun jauh di atas tebing, Bu guru melihat sosok yang satu lagi. Tuan Holmes, masih berdiri tegak tak bergeming.

"Tolooooong...!!!" jeritan anak-anak mengagetkan Bu guru. Dan itu membuat bayangan Moriarty, juga Sherlock Holmes di hadapannya perlahan memudar.

"Bu, ada orang terkapar di balik semak-semak! Seorang laki-laki," suara Yani gemetar sembari menunjuk ke arah semak belukar tak jauh dari air terjun.

"Kami melihat orang itu ketika hendak berfoto ria di sana," Irma menambahkan.

"Apakah orang itu sudah mati?" Rani menggigil ketakutan. Tubuhnya yang mungil bergetar hebat.

"Biar ibu lihat," Bu guru berdiri, lalu berjalan menuju semak-semak.

Dan semua benar. Apa yang dikatakan anak-anak itu benar.

Di balik semak-semak yang merimbun, Bu guru melihat seorang laki-laki terkapar bersimbah darah!

Penampakan Bu guru di atas tebing Coban Pelangi. Foto dokpri
Penampakan Bu guru di atas tebing Coban Pelangi. Foto dokpri
Bersambung

***

Malang, 15 September 2019

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun