"Beginikah caramu memaksakan kehendak, Tuan Abi?" Fatimah mengelus pipinya yang memerah. "Terima kasih. Tamparan ini semakin menguatkan tekad dan keinginanku untuk terus melangkah," Fatimah menatap Abi sejenak. Sebelum kemudian perempuan itu beranjak masuk ke dalam kamar dan mengunci diri.
Mendadak hati Abi diliputi penyesalan yang dirasanya selalu datang terlambat.
***
Fatimah masih berdiri menatap senja yang mulai memucat. Sesekali ia menghela napas, dalam-dalam. Lalu mendesah. Sungguh berat baginya ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama membuat hatinya pedih dan menangis.
Jika pada akhirnya ia memutuskan memilih berpisah, bukan berarti jiwanya merasa tenang. Ia justru merasa semakin terjatuh pada jurang kesedihan paling dalam, paling rendah.Â
Titik nadir.Â
Fatimah tergugu. Beberapa saat lamanya hatinya dikuasai keheningan yang bisu.
Sayup-sayup terdengar kumandang azan dari mushola terdekat. Fatimah tergugah. Ia teringat anak-anak yang sedang menunggunya.
Benar saja. Dua bocah kesayangan sudah menggelar sajadah di dalam kamar. Fatimah buru-buru mengambil air wudhu. Mengenakan mukena dan berdiri gemetar di hadapan kedua anaknya itu.Â
Bersambung...
***