"Untuk apa?" ia pura-pura tak mengerti.
"Minta tanda tanganmu."
"Aku tidak mau!"
"Aku ingatkan sekali lagi. Jangan menjadi istri yang durhaka!" suara Abi mulai meninggi.
"Begitukah?" Fatimah menatap wajah suaminya sekilas.
"Kau telah berubah menjadi istri pembangkang, Fatimah," Abi menekan kedua tangannya pada tepi meja. "Dengar, kau harus memberikan tanda tanganmu!"
"Baiklah jika kau memaksa," Fathimah mengatur napas sejenak. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. "Aku akan tanda tangan. Tapi bukan untuk memberimu izin menikah lagi, melainkan--mengajukan permohonan surat gugat cerai ke pengadilan," Fatimah membuang pandang ke luar jendela.Â
Berusaha menyembunyikan genangan bening yang tiba-tiba saja berebut ingin meruah dari kedua sudut matanya.
Wajah Abi menegang. Harga dirinya sebagai laki-laki merasa terinjak-injak. Kata-kata Fatimah yang menyiratkan pemberontakan membuatnya tak bisa lagi membendung kemarahan.
Plak!
Satu tamparan mendarat di wajah Fatimah.