Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Misteri Kematian di Pondok Kayu

6 Agustus 2019   05:04 Diperbarui: 15 Juli 2022   11:37 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:http:partyvenuesneworleans.com

Bagi Sherlick, kehadiran Jhon di sore itu menjadi semacam amunisi. Mengingat belakangan ini otaknya serasa buntu dikuasai oleh kebosanan. Ia bahkan tidak melakukan kegiatan apapun kecuali duduk meringkuk di depan televisi. Menonton berita perebutan kursi parlemen yang menurutnya sama sekali tidak menarik.

Masih mengenakan piyama bermotif bunga-buga, Sherlick menyambut kedatangan sepupunya itu dengan wajah sumringah. Pipinya merona selayak anak gadis yang sedang jatuh cinta. Dan Jhon paham sekali akan hal itu. Ia tahu Sherlick membutuhkan kasus-kasus untuk memaksa otaknya agar terus aktif bekerja.

Jhon melemparkan sebuah amplop berwarna coklat ke atas meja. Sherlick meraih amplop itu. Membuka kaitan benangnya dan mengeluarkan isinya.

Selembar surat.

Dear Miss Sherlick,

Sepupu Anda---Mr. Jhon telah merekomendasikan diri Anda kepada saya sehubungan dengan kasus rumit yang sedang saya hadapi.

Langsung saja. Seminggu yang lalu saya kehilangan dua orang kakak saya, Emily dan Boston. Mereka meninggal saat menikmati perjamuan makan malam. Emily meninggal terlebih dulu secara tiba-tiba dengan tubuh mengejang dan mulut menganga seperti dicekik setan. 

Beberapa menit usai kematian Emily, Boston ikut terkapar dengan kondisi sama mengenaskannya dengan Emily. Tubuh Boston kejang-kejang dan membiru. Kedua bola matanya terbelalak seolah hendak lepas keluar. 

Melihat wajah yang sedemikian ketakutan, saya berpikir bahwa kedua kakak saya itu telah melihat mahluk yang sangat mengerikan. Mungkin semacam hantu atau setan?

Sementara polisi menduga mereka tewas karena keracunan. Tapi anehnya polisi tidak berhasil menemukan jejak racun apapun baik dalam makanan maupun minuman yang disantap oleh kedua kakak saya. Dan sepertinya polisi mengalami jalan buntu untuk melanjutkan penyelidikan mereka.

Oh, iya. Sebagai informasi tambahan. Kedua kakak saya tersebut sebelumnya tidak akur. Mereka bersitegang soal warisan yang ditinggalkan oleh kedua orangtua kami.

Melalui surat ini, saya sangat berharap Anda bisa membantu memecahkan kasus rumit ini. Terima kasih. Jika ada hal-hal yang kurang jelas Anda bisa bertanya kepada sepupu Anda--Mr. Jhon. Saya telah memberikan kuasa penuh terhadapnya.

Salam,

William Snot

Sumber:huimjourney.elufsefefa.laindixu.pw
Sumber:huimjourney.elufsefefa.laindixu.pw

Usai membaca surat yang ditulis tangan itu Sherlick bergegas meraih mantel dan syal yang tersampir di pojok ruangan. Lalu sigap mengenakan sepatu boots kesayanganya dan memberi tanda kepada Jhon agar segera mengikuti langkahnya meninggalkan apartemen menuju ke suatu tempat.

***

Pondok Kayu. Demikian nama rumah yang menjadi tempat kejadian perkara. Terletak di sebuah desa terpencil dengan kontur tanah berundak-undak khas area perbukitan. Rumah yang terbuat dari papan kayu itu masih dalam pengawasan pihak berwenang meski suasananya sudah kembali normal, tidak seramai beberapa hari lalu. 

Ada seorang polisi muda yang ditugaskan berjaga-jaga di sana.

Setelah berbincang-bincang sejenak dengan polisi muda itu, Sherlick minta izin masuk ke dalam Pondok Kayu. Ditemani Jhon dan juga Tuan William yang wajahnya masih terlihat sedih dan murung.

Pondok Kayu itu tidak terlalu besar. Hanya berukuran 5X4 meter. Sebuah meja berbentuk oval diletakkan tepat di tengah-tengah ruangan dengan dua kursi saling berhadapan. Sebuah jendela menghadap ke halaman samping rumah, daunnya segaja dibiarkan terbuka. Dan sebuah tungku perapian berada di sisi kiri meja bersebelahan dengan lemari tua berisi botol-botol wine.

Menurut polisi muda yang tampak suntuk itu, posisi barang-barang di dalam pondok sama sekali tidak berubah. Masih sama persis dengan saat terjadi peristiwa kematian misterius itu.

Beberapa saat lamanya mata tajam Sherlick sibuk menyelidik. Menyapu seluruh ruangan tak berkedip.

"Di depan tungku itu, tempat di mana Emily terjatuh," Sherlick berkata seraya memicingkan kedua matanya. "Dan Boston menyusul kemudian, di sini," tangannya menunjuk salah satu kursi.

"Bagaimana Anda bisa tahu posisi kedua kakak saya, Miss Sherlick? Padahal saya belum menceritakan apa-apa," Tuan William menatap Sherlick sejenak. Lalu beralih ke arah Jhon.

"Berhadapan dengan Sherlick kita tidak perlu menjelaskan terlalu banyak, Tuan Willy. Otak sepupu saya ini akan bekerja secepat cahaya sebelum kita sempat menceritakan sesuatu kepadanya," Jhon menepuk pundak Tuan William. Semacam memberi penegasan.

Kedua lelaki itu kemudian sepakat membiarkan Sherlick melakukan apa yang ingin dia lakukan. Mereka hanya melihat dari jarak jauh bagaimana gadis itu mengendus, merangkak, menelengkan kepala, bahkan terkadang melompat seperti seekor kucing menemukan sarang tikus.

Hal seperti itu berlangsung sekitar tiga puluh menit.

Terakhir, Sherlick berdiri di dekat jendela. Membuang pandang ke halaman sembari mengibas-ngibaskan mantel panjangnya yang berjuntai.

"Apakah Anda sudah menemukan titik terang sehubungan dengan kematian kedua kakak saya, Miss Sherlick?" Tuan William bertanya serius.

"Saya rasa, saya butuh rekontruksi ulang untuk bisa menjelaskan kepada Anda, Tuan William. Bersediakah Anda menuruti arahan saya?" Sherlick tersenyum. "Dan kau, Jhon. Bantu aku untuk melancarkan urusan ini," Sherlick mengerling ke arah sepupunya yang berdiri di belakang Tuan William. Dan Jhon segera tanggap. Tangan kanannya bergegas merogoh saku jaket, siap mengeluarkan sesuatu. 

"Saya harus bagaimana Miss Sherlick? Maksud saya---apa hubungannya semua ini dengan saya?" Tuan William menatap Sherlick. Suaranya terdengar gusar. 

Dengan tenang Sherlick berjalan menghampiri Tuan William. Menyentuh pundak lelaki itu dan berbisik, "Tidak terlalu sulit, Tuan Willy. Tugas Anda hanya menghidupkan kembali perapian di ruangan ini. Lalu memasukkan benda ini ke dalam perapian tersebut. Tapi sebelum itu-- saya, Jhon dan petugas polisi akan mengunci pintu pondok ini dari luar," Sherlick menunjukkan sebuah tabung berukuran kecil yang sejak tadi disembunyikannya.

Wajah Tuan William seketika memucat. Tubuh kekarnya gemetar. 

Dan entah mengapa tiba-tiba saja lelaki itu menjatuhkan lututnya di hadapan Sherlick.

"Saya menyerah, Miss Sherlick. Saya mengakui. Sayalah pembunuh kedua saudara kandung saya..."

***

Dua hari kemudian.

Jhon masih belum paham bagaimana Sherlick memecahkan kasus kematian itu dengan mudah.

"Jangan menatapku seperti itu, Jhon. Mendekatlah, aku akan segera menjelaskan semuanya padamu," Sherlick tertawa pelan seraya menghempaskan diri di atas sofa. Jhon terlihat tidak sabar. Lelaki itu duduk di hadapan Sherlick dengan kedua tangan menumpu dagu.

Dan beginilah penjelasan lengkap Sherlick.

"Begitu mengetahui nama yang tertera pada surat yang kau berikan padaku sore itu, Jhon--William Snot, ingatanku langsung tertuju pada seorang pengusaha yang mengalami kebangkrutan dan terbelit masalah hutang piutang dengan banyak bank. Berpegang dari hal itulah aku memfokuskan kecurigaanku padanya. 

Kupikir, aku perlu mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya. Itu dulu. Tapi sebelum itu aku harus meyakinkan diri apakah otakku ini sudah bekerja dengan benar. Kau ingat, Jhon? Aku pernah belajar ilmu grafologi. Ilmu membaca karakter melalui tulisan tangan seseorang. Dari mengamati tulisan tangan Tuan William itulah instuisiku mulai bekerja. Dan aku semakin yakin bahwa Tuan William seorang pembohong besar.

Kemudian, ketika kita sampai di tempat kejadian perkara, aku melihat tumbuhan beracun itu di sekitar area pondok. Kau ingat, kan, Jhon? Aku berdiri agak lama di dekat jendela Pondok Kayu. Sekitar lima menit. 

Jika kecurigaanku semakin kuat merujuk kepada Tuan William, itu karena aku menemukan beberapa bukiti lain. Plastik pembungkus tangan dan tabung kecil di dalam tas laki-laki itu. Untuk hal yang ini---bagaimana aku bisa mengacak-ngacak tas lelaki itu tanpa sepengetahuanmu, lain waktu akan aku jelaskan. Tidak sekarang.

Kembali ke misteri kematian dua bersaudara itu.

Tuan William sudah lama mengincar harta warisan keluarganya secara utuh demi menutupi kebangkrutan dan melunasi hutang-hutangnya. Itu berarti ia harus menyingkirkan Emily dan Boston sekaligus. Maka dibuatlah skenario seolah-olah Boston mengundang makan malam Emily. Tuan Wiliam lalu menulis undangan makan malam mengatasnamakan Boston sekaligus mengatur tempat pertemuan mereka.

Lagi-lagi aku berhasil mendapatkan undangan yang dikirim untuk Emily, Jhon. Dan aku langsung yakin bahwa itu memang benar tulisan tangan Tuan William.

Bagi Emily undangan makan malam itu sangatlah berarti. Karena selama ini hubungannya dengan Boston terbilang kurang baik. Maka ia pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Apalagi William berjanji akan menyusul satu jam setelahnya.

Kau tahu apa yang dilakukan William sebelum Emily pergi, Jhon? Ia membekali Emily dengan serbuk kering daun kecubung. Dan berpesan agar kakaknya itu menaburkan serbuk kering tersebut ke dalam perapian begitu makan malam berlangsung.

Kau pernah mempelajari seberapa bahayanya daun kecubung jika dibakar kan, Jhon? 

Lantas mengapa Emily begitu penurut terhadap perintah William? Pengusaha yang tengah dirundung bangkrut itu membisiki kakaknya, bahwa selama ini Boston terkena semacam guna-guna agar membenci Emily. Dan serbuk itu adalah penawarnya.

Sampai di sini ada pertanyaan?"

Sherlick mengakhiri kalimatnya.

"Tidak Sherlick. Semua sudah jelas. Melalui tumbuhan mematikan itulah William membunuh Emily dan Boston. Ketika memasukkan serbuk daun kecubung ke perapian, Emily tidak sadar telah menghidu asap beracun. Dan ia pun jatuh tersungkur. Sementara Boston yang tengah asyik menikmati hidangan berusaha menolong kakak perempuannya itu. Tapi belum sempat beranjak dari kursi, asap beracun itu sudah sampai kepadanya," Jhon tersenyum ke arah Sherlick. Lalu berdiri, merapikan ujung lengan jaketnya yang kusut.

Sebelum sepupunya itu pergi meninggalkan apartemen, Sherlick bergumam, "Jhon, itulah mengapa aku sangat bersyukur ketika mengetahui leluhur kita tidak meninggalkan harta warisan apa pun. Kecuali ilmu..."

***

Malang, 06 Agustus 2019

Lilik Fatimah Azzahra

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun