Meski tampak kesakitan senja tidak menangis. Ia juga tidak marah. Ia bahkan meraih tanganku yang gemetar.
"Sudahlah, jangan berpucat wajah seperti itu. Kita bermain yang lain saja, yuk. Bagaimana kalau aku mengajarimu membuat sajak?" senja menggamit pundakku yang ringkih.
Mendengar kata sajak, seketika aku melonjak.Â
Ya, sajak. Sudah lama aku ingin belajar menuliskannya. Aku pernah membaca sajak milik Ibu guru di sekolah. Sajak itu sangat indah.Â
Ketika senja benar-benar mengajariku, aku tidak bisa mengungkapkan seberapa sangat gembiranya hatiku.Â
------
Ketika aku kecil, aku pernah memenuhi dinding kamarku dengan sajak-sajak yang diajarkan oleh senja. Sajak-sajak itu bercerita tentang beragam perasaan. Perasaan senang ketika aku berhasil menjadi juara kelas. Perasaan sedih ketika aku tidak bisa merayakan ulang tahun seperti teman-teman sebayaku karena kehidupan kami yang pas-pasan. Dan perasaan kehilangan ketika aku tidak bisa lagi memiliki kesempatan untuk mencuri senja setiap kali pulang dari mengaji.
Ya. Semenjak Ayah terserang sakit, aku harus pandai-pandai membagi waktu antara belajar dan membantu Ibu mengumpulkan uang.Â
Tapi sesekali waktu, ketika membuka daun jendela kamar, aku berbisik perlahan. Menitip pesan kepada angin yang kebetulan melintas di hadapanku. Bahwa suatu hari nanti, aku akan kembali mencuri senja. Membawanya pulang ke rumah dan mengurungnya di dalam botol susu milik anakku.
***
Malang, 07 Juli 2019