-'---
Ketika aku kecil, aku lebih suka bermain dengan senja. Senja yang manis, yang kucuri setiap kali aku pulang dari mengaji.
Aku tidak peduli meski banyak orang menganggap aku adalah sosok gadis kecil yang aneh. Penyendiri. Jarang ke luar kamar. Kecuali pergi sekolah dan mengaji di surau yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah tempat tinggalku.
Aku tahu Ibu sangat mengkhawatirkan perkembangan perilakuku. Itulah mengapa beberapa kali Ibu meminta agar aku berkumpul dan bermain bersama teman-teman sebaya. Tapi entah mengapa. Aku tetap tidak mau beranjak pergi meninggalkan kamarku.
Ah, Ibu. Aku sebenarnya tidak butuh teman lagi. Aku sudah memiliki senja. Ia lebih dari sekadar seorang teman. Ia sangat baik hati dan sangat mengerti akan diriku.
"Prita, jangan mengurung diri terus seperti ini," suatu petang Ibu kembali menegurku ketika melihat aku duduk bersila di atas lantai kamar. Dan seperti biasa, Ibu mengira aku tengah sendiri.
Bagaimana aku harus menjelaskan kepada Ibu bahwa aku sebenarnya tidak sendiri? Aku sedang ditemani oleh senja. Kami duduk berhadapan. Bersiap berlomba adu cepat mengisi lubang-lubang papan permainan dakon dengan biji-biji kerikil yang kujumputi di jalanan sepulang dari mengaji sore tadi.
Melihat aku tidak merespon ucapannya, Ibu perlahan berlalu meninggalkan kamarku.
Dan aku kembali melanjutkan bermain bersama senja.
"Aku menang!" senja berseru girang. Ketika ia lebih dulu berhasil memenuhi lubang-lubang dakon miliknya.
"Ah, kamu curang!" aku menarik papan permainan, menumpahkan seluruh isinya hingga berserakan di atas ubin yang dingin. Lalu kulemparkan papan dakon itu, dan--bletak! Tanpa sengaja papan itu mengenai kepala senja.Â