Sebagai penggila dunia fiksi, termasuk dongeng, begitu mengetahui film Aladdin tayang di bioskop terdekat, buru-buru saya meminta pada anak-anak untuk menemani nonton. Eh, rupanya tanpa sepengetahuan saya mereka sudah nonton duluan saat film tersebut tayang di hari pertama.
Meski sedikit kecewa, tapi saya merasa gembira. Ternyata anak-anak lebih memilih film yang mengangkat dunia dongeng ketimbang film bergenre lain yang kebetulan saat itu sedang tayang secara bersamaan.
Dan, akhirnya meski tidak bersama anak-anak, keinginan nonton Aladdin kesampaian juga. Terobati sudah rasa rindu akan dunia dongeng di masa kecil. Di mana dulu sebelum tidur Ibu kerap mendongengkan kisah Aladdin dan lampu wasiatnya ini. Biasamya kami, anak-anaknya berebut tidur paling dekat di sisi Ibu agar bisa mendengarkan apa yang beliau kisahkan dengan jelas.
Kebiasaan menikmati dongeng ini ternyata tak kunjung surut. Meski, tentu saja penyampaiannya di era kini sudah berbeda. Sudah semakin canggih. Dongeng bisa dinikmati dan diperoleh dengan mudah, lebih praktis karena tersedia dalam berbagai bentuk media.
Dongeng Nusantara yang Tersisihkan
Sepanjang menikmati tayangan film Aladdin yang dikemas sedemikian apik dan memukau, saya sempat berpikir. Bukankah Aladdin berangkat dari sebuah dongeng rakyat biasa? Tapi mengapa bisa begitu booming dan mendunia?
Saya jadi teringat. Bukankah kita juga memiliki dongeng dan cerita rakyat yang cukup banyak dan bagus-bagus? Seperti legenda Malin Kundang, Roro Jonggrang, Ande-Ande Lumut, Lutung Kasarung dan masih banyak lagi. Tapi mengapa perjalanan cerita rakyat itu serasa tersendat-sendat?
Ada banyak hal yang mempengaruhi. Salah satunya adalah pengenalan yang kurang sehingga menimbulkan minat atau ketertarikan yang kurang pula.
Pernah suatu hari saya bertanya kepada sekelompok murid bimbel yang duduk di kelas 6 SD. Apakah mereka tahu kisah Lutung Kasarung?
Jawaban mereka sungguh membuat saya sedih sekaligus trenyuh. Rata-rata kepala mereka menggeleng lemah. Jika saja gelengan itu disertai ekspresi ingin tahu, saya pasti akan dengan senang hati menceritakannya kembali. Atau saya akan merekomendasikan buku dongeng yang bisa mereka baca. Tapi sayang, mereka kelihatan tidak tertarik. Dan hal itulah yang paling membuat hati saya sedih.
Pengalaman gagal mencuri perhatian dengan memperkenalkan dongeng pernah juga terjadi saat saya menemani bimbel bocah-bocah usia TK. Saya begitu antusias ingin mendongeng fabel, kisah Kancil dan Buaya. Eh, bukannya memperhatikan, bocah-bocah itu malah asyik bercerita sendiri membahas film kartun Sponge Bob.Â
Mungkinkah Dongeng Nusantara Bisa Mendunia Seperti Aladdin?
Terlalu muluk jika saya bertanya demikian. Sedang budaya mendongeng seiring berjalannya waktu kian terkikis. Kalau toh ada, bisa dihitung seberapa banyak orang tua, guru atau pendidik yang masih menyempatkan diri mendongeng di hadapan anak-anak didik mereka. Atau, bisa jadi keadaannya terbalik. Semisal sang pendongeng sudah begitu antusias ingin bercerita, tapi pihak yang akan didongengi malah tidak merespon sama sekali alias tidak tertarik.
Kesimpulannya, mendongeng itu perlu kesabaran, ketelatenan  dan kreativitas yang tinggi agar terjalin sinergi antara pendongeng dan pendengarnya.
Seperti layaknya para penggagas film Aladdin. Mereka berusaha bersungguh-sungguh memvisualisasikan cerita rakyat Timur Tengah itu menjadi sebuah tayangan sinema yang hidup sesuai dengan imajinasi yang selama ini sudah melekat di kepala para pecinta dongeng. Hasilnya? Bukan hanya pecinta dongeng, bahkan yang belum pernah mendengar kisah Aladdin pun memberi respon positif dengan berbondong-bondong menikmati suguhan filmnya.
Kapan ya, dongeng Nusantara bisa setenar dongeng Aladdin?
***
Malang, 26 Juni 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H