Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sampai di Mana Perjalanan Dongeng Kita?

26 Juni 2019   20:30 Diperbarui: 26 Juni 2019   20:59 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:koleksicerita1.blogspot.com

Sebagai penggila dunia fiksi, termasuk dongeng, begitu mengetahui film Aladdin tayang di bioskop terdekat, buru-buru saya meminta pada anak-anak untuk menemani nonton. Eh, rupanya tanpa sepengetahuan saya mereka sudah nonton duluan saat film tersebut tayang di hari pertama.

Meski sedikit kecewa, tapi saya merasa gembira. Ternyata anak-anak lebih memilih film yang mengangkat dunia dongeng ketimbang film bergenre lain yang kebetulan saat itu sedang tayang secara bersamaan.

Dan, akhirnya meski tidak bersama anak-anak, keinginan nonton Aladdin kesampaian juga. Terobati sudah rasa rindu akan dunia dongeng di masa kecil. Di mana dulu sebelum tidur Ibu kerap mendongengkan kisah Aladdin dan lampu wasiatnya ini. Biasamya kami, anak-anaknya berebut tidur paling dekat di sisi Ibu agar bisa mendengarkan apa yang beliau kisahkan dengan jelas.

Kebiasaan menikmati dongeng ini ternyata tak kunjung surut. Meski, tentu saja penyampaiannya di era kini sudah berbeda. Sudah semakin canggih. Dongeng bisa dinikmati dan diperoleh dengan mudah, lebih praktis karena tersedia dalam berbagai bentuk media.

Dongeng Nusantara yang Tersisihkan

Sepanjang menikmati tayangan film Aladdin yang dikemas sedemikian apik dan memukau, saya sempat berpikir. Bukankah Aladdin berangkat dari sebuah dongeng rakyat biasa? Tapi mengapa bisa begitu booming dan mendunia?

Sumber:koleksicerita1.blogspot.com
Sumber:koleksicerita1.blogspot.com
Selanjutnya terpercik rasa kagum. Alangkah hebatnya mereka--orang-orang pecinta dongeng di luar sana, yang getol memperkenalkan dan mengangkat kisah Aladdin ini sehingga menjadi tontonan yang bisa dinikmati--bukan hanya usia anak-anak, tapi juga orang dewasa di seluruh penjuru dunia.

Saya jadi teringat. Bukankah kita juga memiliki dongeng dan cerita rakyat yang cukup banyak dan bagus-bagus? Seperti legenda Malin Kundang, Roro Jonggrang, Ande-Ande Lumut, Lutung Kasarung dan masih banyak lagi. Tapi mengapa perjalanan cerita rakyat itu serasa tersendat-sendat?

Ada banyak hal yang mempengaruhi. Salah satunya adalah pengenalan yang kurang sehingga menimbulkan minat atau ketertarikan yang kurang pula.

Pernah suatu hari saya bertanya kepada sekelompok murid bimbel yang duduk di kelas 6 SD. Apakah mereka tahu kisah Lutung Kasarung?

Jawaban mereka sungguh membuat saya sedih sekaligus trenyuh. Rata-rata kepala mereka menggeleng lemah. Jika saja gelengan itu disertai ekspresi ingin tahu, saya pasti akan dengan senang hati menceritakannya kembali. Atau saya akan merekomendasikan buku dongeng yang bisa mereka baca. Tapi sayang, mereka kelihatan tidak tertarik. Dan hal itulah yang paling membuat hati saya sedih.

Pengalaman gagal mencuri perhatian dengan memperkenalkan dongeng pernah juga terjadi saat saya menemani bimbel bocah-bocah usia TK. Saya begitu antusias ingin mendongeng fabel, kisah Kancil dan Buaya. Eh, bukannya memperhatikan, bocah-bocah itu malah asyik bercerita sendiri membahas film kartun Sponge Bob. 

Sumber:terotoh.blogspot.com
Sumber:terotoh.blogspot.com
Ya, sudah. Semua ini bukan salah mereka bukan? Anak-anak itu hanya mengonsumsi apa yang saat  ini paling sering disuguhkan di hadapan mereka.

Mungkinkah Dongeng Nusantara Bisa Mendunia Seperti Aladdin?

Terlalu muluk jika saya bertanya demikian. Sedang budaya mendongeng seiring berjalannya waktu kian terkikis. Kalau toh ada, bisa dihitung seberapa banyak orang tua, guru atau pendidik yang masih menyempatkan diri mendongeng di hadapan anak-anak didik mereka. Atau, bisa jadi keadaannya terbalik. Semisal sang pendongeng sudah begitu antusias ingin bercerita, tapi pihak yang akan didongengi malah tidak merespon sama sekali alias tidak tertarik.

Kesimpulannya, mendongeng itu perlu kesabaran, ketelatenan  dan kreativitas yang tinggi agar terjalin sinergi antara pendongeng dan pendengarnya.

Seperti layaknya para penggagas film Aladdin. Mereka berusaha bersungguh-sungguh memvisualisasikan cerita rakyat Timur Tengah itu menjadi sebuah tayangan sinema yang hidup sesuai dengan imajinasi yang selama ini sudah melekat di kepala para pecinta dongeng. Hasilnya? Bukan hanya pecinta dongeng, bahkan yang belum pernah mendengar kisah Aladdin pun memberi respon positif dengan berbondong-bondong menikmati suguhan filmnya.

Kapan ya, dongeng Nusantara bisa setenar dongeng Aladdin?

***

Malang, 26 Juni 2019

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun