Pulanglah...
Pesan singkat itu kutemukan terselip di bawah dompet yang kuletakkan di atas meja rias. Sejenak hatiku bergetar.
Pulang? Sudah berapa lama aku berusaha melupakan kata itu? Membiarkannya terkubur bersama kesibukan yang sengaja kuciptakan sendiri. Meski lebih seringnya aku gagal. Terutama saat melihat beberapa teman sibuk mempersiapkan diri jelang lebaran untuk menjemput momen 'pulang' ini dengan penuh suka cita.
Aku membiarkan mataku mengamati wajah sendiri yang terpantul di dalam cermin. Sudah surutkah keangkuhanku? Ternyata belum. Keangkuhan itu masih ada. Masih tergurat jelas.Â
***
Kesibukan semakin terlihat di sana-sini. Beberapa teman sudah berkemas. Lalu satu persatu pergi. Meninggalkan ruangan. Menuju pulang setelah saling mengucap selamat jalan.
Sementara aku masih terpekur di depan meja rias yang lampunya sengaja belum kumatikan. Aku mengamati wajahku sekali lagi. Ada apa denganku? Mengapa aku tampak begitu kuyu? Mengapa riasan tebal ini tidak mampu menutupi kesedihanku?
Buru-buru kunaikkan sudut bibir hingga membentuk garis senyum yang melengkung lebar. Lalu perlahan kudekatkan wajah hingga nyaris menyentuh permukaan cermin.
"Riska?" suara lembut itu membuatku menoleh.
"Ya, Mbak Yun," aku beringsut dari dudukku. Perempuan yang kupanggil Mbak Yun itu mendekat.
"Sudah kau baca pesan itu?"
Aku mengangguk. Meraih kembali secarik kertas berisi pesan singkat yang tadi sempat kubaca. Mbak Yun berdiri mematung di sampingku.
"Kalau kau berniat pulang kampung, aku bisa memesankan tiket kereta api saat ini juga," Mbak Yun berkata pelan. Aku terdiam. Mempertimbangkan tawaran Mbak Yun dengan perasaan bergejolak tak menentu.
"Aku paham apa yang kau pikirkan, Ris," Mbak Yun meletakkan satu tangannya di atas pundakku yang ringkih. Tenggorokanku tiba-tiba saja terasa kering dan tercekat.
"Kau pasti merindukan orang tuamu, bukan? Terutama Ibumu," Mbak Yun berkata lirih. Kupalingkan muka. Mataku terasa panas. Ada genangan hangat yang memaksa hendak menerobos keluar.
Di luar langit sibuk menebar awan bertabur mendung. Diiringi gemerisik angin yang berebut menampar kaca jendela. Seolah sengaja mendramatisir suasana agar tampil semakin muram.
"Aku sudah menyiapkan pakaian baru untukmu, Ris. Yang bisa kau kenakan saat pulang kampung nanti," Mbak Yun menepuk pundakku beberapa kali. Matanya yang teduh menatapku tak berkedip melalui pantulan cermin.
 "Baiklah, Mbak. Aku--akan pulang," aku menegakkan badan. Menghela napas dalam-dalam lalu mematikan lampu meja rias dengan kasar.
Seketika bibir manis Mbak Yun menyungging senyum.
***
Di ruang tamu yang penataan interiornya sama sekali tidak berubah meski beberapa tahun kutinggalkan, kulihat dua pini sepuh itu tengah duduk berdampingan. Dan aku tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak berhambur ke dalam pelukan mereka.
Ayah dan Ibu. Dua orang yang sangat kukasihi dan mengasihiku. Yang pernah kulukai dengan perilaku tidak wajar namun tetap berbesar hati menerima kepulanganku.Â
"Baju koko yang kau pakai bagus sekali, Ka," Ayah mempererat pelukannya. Bersamaan dengan itu terdengar lantun merdu azan Magrib. Menyerukan panggilan sholat sekaligus membatalkan ibadah puasa hari ini.
"Kemana saja selama ini, Mas Jaka? Anak-anak sudah kangen belajar mengaji padamu," seorang ibu muda, tetangga sebelah rumah ikut gembira menyambut kepulanganku.
Aku berdiri, merapikan sarung dan baju koko pemberian Mbak Yun--perempuan cantik pemilik salon tempatku bekerja selama ini. Perempuan yang berusaha keras membantu mengembalikan jati diriku menjadi seorang laki-laki sejati. Â
Aku Jaka. Aku berjanji tak akan ada sosok bernama Riska lagi di dalam tubuh dan kehidupanku.
***
Malang, 01 Juni 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H