Benda terbuat dari kayu itu sebenarnya sudah tidak layak pakai. Permukaaan catnya sudah kusam. Pintunya pun sudah rusak. Tapi aku belum ingin menyingkirkannya.
Anak-anak berkali-kali memprotes. Menyuruh membuang saja benda berbentuk balok dengan ukuran 1,5X1 meter itu. Alasan mereka, memenuhsesaki ruangan. Bahkan si sulung, Ainun, berjanji akan menggantikannya dengan yang baru. Yang lebih bagus dan praktis.
"Itu lemari kenangan, Nun. Ibu tidak sampai hati berpisah dengannya," aku tetap bersikeras. Jika sudah begitu, tak satu pun dari anak-anakku yang berani bicara lagi. Mereka tahu, tidak bakal berhasil membujukku.
Aku memang tergolong keras kepala. Dan agak sentimentil. Apalagi jika itu ada hubungannya dengan kenangan. Ada hal-hal indah yang tidak bisa kulupakan dan tergantikan begitu saja. Sekalipun tergerus oleh perjalanan waktu.
Memandang lemari di pojok ruangan kamarku, membuatku selalu teringat bagaimana Mas Siswoyo berjuang keras hanya agar bisa membeli benda itu. Saat di mana kami baru mengawali hidup sebagai pasangan baru. Yang masih serba pas-pasan. Belum memiliki rumah sendiri. Masih mengontrak di sebuah rumah yang ukurannya tidak begitu besar. Sementara Mas Sis---begitu aku memanggilnya, kala itu pekerjaannya hanyalah seorang pegawai bawahan.
Jika kukatakan lemari itu adalah satu-satunya barang paling berharga yang kami miliki, tentu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Untuk mendapatkannya, Mas Sis harus rajin bekerja dan kerap lembur. Rajin menyisihkan uang. Dan tentunya rajin pula mengencangkan ikat pinggang. Sampai akhirnya keinginan memiliki lemari pakaian itu kesampaian. Jangan ditanya bagaimana perasaan kami saat itu. Bahagia sekali. Hingga tanpa sadar kami berpelukan cukup lama.
Dan akhirnya lemari itu pula yang menyelamatkan perkawinan kami yang nyaris terhempas di tengah jalan.
Ceritanya begini, kehidupan kami mulai membaik ketika Mas Sis akhirnya diangkat sebagai pegawai tetap di mana ia bekerja. Bukan hanya itu, ia juga dipercaya menempati posisi yang lumayan berpengaruh. Dan dampaknya kami tidak lagi tinggal di rumah kontrakan. Sudah bisa membangun rumah sendiri meski kecil-kecilan dan tergolong sederhana.
Memasuki usia pernikahan ketiga belas---sebuah angka yang paling tidak aku suka, sebuah cobaan datang mengguncang rumah tangga kami. Mas Sis terjebak cinta lokasi dengan teman satu kantornya.
Marahkah aku?
Awalnya iya. Tapi kemudian aku berusaha mendinginkan kepalaku sendiri. Dengan cara agak unik. Setiap pagi dan sebelum tidur aku bicara pada lemari itu. Sembari menyelipkan selembar kertas bertuliskan doa dan keinginanku. Doa-doa itu berbunyi begini, Tuhan...semoga Engkau menjadikan aku istri yang sabar. Dan semoga lemari ini menjadi pengingat dan pengikat cinta kami.
Hal itu aku lakukan terus menerus. Sebagai penghiburanku. Sampai suatu pagi, di pekan ke sekian ketika hendak berganti pakaian, Mas Sis tampak sangat terkejut. Ia menemukan begitu banyak lembar kertas di bawah lipatan pakaiannya.
Pagi itu aku memang sengaja tidak menyiapkan setelan seragam yang akan dikenakannya. Aku membiarkan ia mengambil sendiri keperluannya. Dan saat itulah Mas Sis tahu, aku menyimpan kegundahanku di dalam lemari itu.
Ia tercenung beberapa saat. Sepertinya mulai menyadari kekeliruannya. Â
Tak berapa lama kemudian ia menghampiriku. Meraih pundakku dan menyampaikan kata maaf bertubi-tubi.
"Aku sudah memaafkanmu sejak kemarin-kemarin, Mas. Lemari kenangan itu yang mengajari dan menguatkanku. Filosofi lemari benar-benar aku terapkan, simpan hal-hal baik di dalamnya. Jika ada yang berantakan, benahi dan rapikan. Jangan saling menyalahkan, " aku berkata bersungguh-sungguh. Mas Sis kian erat memelukku.
Hingga akhirnya aku harus kehilangan Mas Sis, suamiku itu pergi mendahuluiku menghadap yang Maha Kuasa karena terkena serangan jantung, lemari itu masih tetap berdiri di pojok kamar kami, menemaniku.
Dan aku masih tetap melakukan hal yang sama, tetap menulis doa serta pengharapan pada selembar kertas untuk kuletakkan di dalam laci lemari di mana Mas Sis biasa menyimpan barang berharga yang dimiliknya.
Itulah sebab aku enggan menyingkirkan barang yang banyak menyimpan kenangan bersama lelaki yang sangat kucintai.Â
Pagi ini Ainun datang ditemani oleh suaminya mengunjungiku.
"Ibu, nanti siang ada tukang kunci yang akan membetulkan pintu lemari yang rusak itu," kata menantuku dengan senyum mengembang. Tentu saja aku mengangguk senang. Itu yang selama ini kuinginkan. Tetap bisa melihat benda itu.Â
Aku beranjak dari dudukku. Sebelum menutup pintu kamar, tiba-tiba saja aku seperti melihat Mas Sis berdiri di dekat lemari kenangan itu seraya melambaikan tangan kekarnya ke arahku.
***
Malang, 17 Mei 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H