Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lemari

17 Mei 2019   19:07 Diperbarui: 17 Mei 2019   19:09 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benda terbuat dari kayu itu sebenarnya sudah tidak layak pakai. Permukaaan catnya sudah kusam. Pintunya pun sudah rusak. Tapi aku belum ingin menyingkirkannya.

Anak-anak berkali-kali memprotes. Menyuruh membuang saja benda berbentuk balok dengan ukuran 1,5X1 meter itu. Alasan mereka, memenuhsesaki ruangan. Bahkan si sulung, Ainun, berjanji akan menggantikannya dengan yang baru. Yang lebih bagus dan praktis.

"Itu lemari kenangan, Nun. Ibu tidak sampai hati berpisah dengannya," aku tetap bersikeras. Jika sudah begitu, tak satu pun dari anak-anakku yang berani bicara lagi. Mereka tahu, tidak bakal berhasil membujukku.

Aku memang tergolong keras kepala. Dan agak sentimentil. Apalagi jika itu ada hubungannya dengan kenangan. Ada hal-hal indah yang tidak bisa kulupakan dan tergantikan begitu saja. Sekalipun tergerus oleh perjalanan waktu.

Memandang lemari di pojok ruangan kamarku, membuatku selalu teringat bagaimana Mas Siswoyo berjuang keras hanya agar bisa membeli benda itu. Saat di mana kami baru mengawali hidup sebagai pasangan baru. Yang masih serba pas-pasan. Belum memiliki rumah sendiri. Masih mengontrak di sebuah rumah yang ukurannya tidak begitu besar. Sementara Mas Sis---begitu aku memanggilnya, kala itu pekerjaannya hanyalah seorang pegawai bawahan.

Jika kukatakan lemari itu adalah satu-satunya barang paling berharga yang kami miliki, tentu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Untuk mendapatkannya, Mas Sis harus rajin bekerja dan kerap lembur. Rajin menyisihkan uang. Dan tentunya rajin pula mengencangkan ikat pinggang. Sampai akhirnya keinginan memiliki lemari pakaian itu kesampaian. Jangan ditanya bagaimana perasaan kami saat itu. Bahagia sekali. Hingga tanpa sadar kami berpelukan cukup lama.

Dan akhirnya lemari itu pula yang menyelamatkan perkawinan kami yang nyaris terhempas di tengah jalan.

Ceritanya begini, kehidupan kami mulai membaik ketika Mas Sis akhirnya diangkat sebagai pegawai tetap di mana ia bekerja. Bukan hanya itu, ia juga dipercaya menempati posisi yang lumayan berpengaruh. Dan dampaknya kami tidak lagi tinggal di rumah kontrakan. Sudah bisa membangun rumah sendiri meski kecil-kecilan dan tergolong sederhana.

Memasuki usia pernikahan ketiga belas---sebuah angka yang paling tidak aku suka, sebuah cobaan datang mengguncang rumah tangga kami. Mas Sis terjebak cinta lokasi dengan teman satu kantornya.

Marahkah aku?

Awalnya iya. Tapi kemudian aku berusaha mendinginkan kepalaku sendiri. Dengan cara agak unik. Setiap pagi dan sebelum tidur aku bicara pada lemari itu. Sembari menyelipkan selembar kertas bertuliskan doa dan keinginanku. Doa-doa itu berbunyi begini, Tuhan...semoga Engkau menjadikan aku istri yang sabar. Dan semoga lemari ini menjadi pengingat dan pengikat cinta kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun