Hal itu aku lakukan terus menerus. Sebagai penghiburanku. Sampai suatu pagi, di pekan ke sekian ketika hendak berganti pakaian, Mas Sis tampak sangat terkejut. Ia menemukan begitu banyak lembar kertas di bawah lipatan pakaiannya.
Pagi itu aku memang sengaja tidak menyiapkan setelan seragam yang akan dikenakannya. Aku membiarkan ia mengambil sendiri keperluannya. Dan saat itulah Mas Sis tahu, aku menyimpan kegundahanku di dalam lemari itu.
Ia tercenung beberapa saat. Sepertinya mulai menyadari kekeliruannya. Â
Tak berapa lama kemudian ia menghampiriku. Meraih pundakku dan menyampaikan kata maaf bertubi-tubi.
"Aku sudah memaafkanmu sejak kemarin-kemarin, Mas. Lemari kenangan itu yang mengajari dan menguatkanku. Filosofi lemari benar-benar aku terapkan, simpan hal-hal baik di dalamnya. Jika ada yang berantakan, benahi dan rapikan. Jangan saling menyalahkan, " aku berkata bersungguh-sungguh. Mas Sis kian erat memelukku.
Hingga akhirnya aku harus kehilangan Mas Sis, suamiku itu pergi mendahuluiku menghadap yang Maha Kuasa karena terkena serangan jantung, lemari itu masih tetap berdiri di pojok kamar kami, menemaniku.
Dan aku masih tetap melakukan hal yang sama, tetap menulis doa serta pengharapan pada selembar kertas untuk kuletakkan di dalam laci lemari di mana Mas Sis biasa menyimpan barang berharga yang dimiliknya.
Itulah sebab aku enggan menyingkirkan barang yang banyak menyimpan kenangan bersama lelaki yang sangat kucintai.Â
Pagi ini Ainun datang ditemani oleh suaminya mengunjungiku.
"Ibu, nanti siang ada tukang kunci yang akan membetulkan pintu lemari yang rusak itu," kata menantuku dengan senyum mengembang. Tentu saja aku mengangguk senang. Itu yang selama ini kuinginkan. Tetap bisa melihat benda itu.Â
Aku beranjak dari dudukku. Sebelum menutup pintu kamar, tiba-tiba saja aku seperti melihat Mas Sis berdiri di dekat lemari kenangan itu seraya melambaikan tangan kekarnya ke arahku.
***
Malang, 17 Mei 2019
Lilik Fatimah Azzahra