Dedy Delusi mengeluarkan beberapa mata pisau dari dalam tas hitamnya. Lalu menatanya rapi di atas meja. Menghitungnya satu persatu dengan seksama.
Jemarinya berhenti pada pisau kesebelas dan keduabelas, dua pisau paling runcing dan tajam.
Kemudian ia menoleh, tersenyum tipis menatap sosok gadis yang berdiri tak jauh darinya.
"Kau sudah siap, Alisa? Kuharap malam ini kita akan menampilkan pertunjukan yang terbaik. Setelah Minggu lalu kita nyaris gagal," Dedy berkata dengan tatap mata masih belum beralih dari gadis berpakaian minim berumbai-rumbai ala penari salsa itu.Â
"Tentu, Tuan Dedy. Saya berjanji akan lebih berkonsentrasi terhadap instruksi Anda. Saya tidak ingin salah satu pisau milik Anda kembali melukai bagian tubuh saya," gadis yang dipanggil Alisa itu meraba sejenak paha kirinya. Ada bekas luka jahitan yang masih terasa nyeri.
"Luka itu akan sembuh dalam sepuluh hari, Alisa. Seperti luka-luka lain yang kaualami sebelumnya," Dedy berdiri. Kali ini pandangan mata lelaki berpostur kekar itu tertuju pada sesuatu.Â
Pada bagian tubuh paling sensitif yang dimiliki Alisa.
***
Musik klasik bernuansa mistis mengiringi pertunjukan sulap malam itu. Mendayu-dayu miris menambah ketegangan suasana. Penonton yang duduk tenang di kursi mereka masing-masing, menahan napas menyaksikan seorang gadis cantik berdiri di tengah-tengah papan kayu yang sudah diberi tanda beberapa titik hitam. Titik-titik itu merupakan titik sasar pisau yang sebentar lagi akan dilempar oleh Dedy Delusi, sang pesulap tersohor.
Seperti biasa, Alisa berdiri dengan tenang. Posisi tubuhnya diatur sedemikian rupa, serileks mungkin. Wajahnya yang jelita tersorot lampu berkekuatan ribuan watt, yang sesekali cahayanya beralih ke sana kemari.
Suasana kian hening manakala Dedy mulai beraksi melempar dua pisau pertama dalam genggaman tangannya.