Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan Kaldera

3 Januari 2019   19:55 Diperbarui: 3 Januari 2019   20:15 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:pinterest.com/yvonnenaudack

Berjalan di atas pasir hitam kaldera sejauh hampir 3 kilometer bolak-balik setiap hari, bagi Ibu adalah hal yang biasa. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan lelah. Meski keringat mengucur deras di keningnya yang tak lagi licin.

Ibuku memang perempuan kaldera sejati. Setidaknya begitu yang aku ketahui di sepanjang hidupku ini.

"Ibu sudah waktunya istirahat," aku menggapai. Berusaha meraih tangan Ibu yang sibuk mempersiapkan bakul besar terbuat dari anyaman bambu di atas meja.

"Ibu masih kuat, Nur. Kau tidak perlu cemas," Ibu beralih pandang ke arahku. Seperti biasa. Senyumnya yang manis meluluhkan hatiku.

"Tapi, Bu," mataku mendadak berkaca-kaca. Aku terharu menyaksikan bagaimana perjuangan Ibu. Dua belas tahun lebih menggendong bakul berisi jagung rebus menyususuri pasir kaldera yang panasnya minta ampun di kala musim kemarau dan dnginnya membekukan di saat musim hujan tiba.

"Tidak ada yang berat jika itu dilakukan untuk cinta, Nur," Ibu mengelus kepalaku. Seolah paham apa yang tengah kupikirkan.

Untuk cinta? Ibu mengatakannya sedemikian ringan. Tanpa beban.

Ya. Sekali lagi kukatakan. Ibuku sosok perempuan yang tangguh. Ia menjalani hidupnya seorang diri. Benar-benar mandiri. Ibu juga merawatku dengan sabar. Itu dibuktikan dengan rela menggendongku bolak-balik ke kamar kecil jika aku ingin mandi atau buang air.

Ibu sama sekali tidak pernah berkeluh kesah.

Sampai suatu pagi aku mendengar seseorang berkata lantang kepada Ibu. 

"Nur itu serupa kutukan bagimu, Sri!" 

"Jaga mulut lancang  riko, Yu Nah!" Ibu menyahut tak kalah sengit. Ia terlihat amat tersinggung. Lalu, blam! Dengan kasar Ibu menutup pintu rumah rapat-rapat.

"Tetangga gendheng! Jangan diambil hati ucapannya ya, Nur," Ibu buru-buru membopongku pindah ke kamar belakang.

"Nanti kalau Ibu berangkat ke kaldera, aku kunci pintunya dari luar, ya. Ada Telon yang akan menemanimu," Ibu mendudukkanku di atas amben beralas tikar. Mengecup ubun-ubun kepalaku dengan lembut.

Aku mengangguk.

"Nasi dan lauk pauk sudah aku siapkan di atas meja. Berbagilah makanan dengan Telon," Ibu menunjuk tudung nasi di atas meja kecil yang terletak tidak jauh dari jangkauanku. 

Sekali lagi aku mengangguk.

***

Ketika matahari mulai meninggi, Ibu gegas mengunci pintu rumah, meninggalkanku menuju kaldera. Bakul berisi puluhan jagung rebus yang masih panas sudah siap di dalam gendongannya.

Ya. Ibu menjajajakan jagung rebus itu pada para pelancong yang datang berkunjung di sekitar area wisata Gunung Bromo. Hanya itu yang bisa Ibu lakukan. Dan pekerjaannya yang tidak menentu ini menjadi satu-satunya penopang hidup kami.

Andai saja---ya, andai saja aku tidak ditakdirkan lumpuh pada kedua kakiku.

Ah, sejak kapan aku pandai mengeluh seperti ini? Tidak. Kalau sampai Ibu tahu pasti ia akan marah besar. Kata Ibu aku harus tetap bersyukur apa pun yang Tuhan berikan kepada kami.

Aku menatap Telon yang mendengkur di dekat kolong amben. Kucing jantan itu tampak sangat pulas. 

Suasana sepi membuat mataku riyip-riyip. Aku nyaris terlelap kalau saja tidak dikagetkan oleh munculnya seseorang.

Yu Nah!

Perempuan itu menyeringai begitu melihatku.

"Ba-gaimana Yu Nah bisa masuk kemari?" aku gagap bertanya.

"Ah, itu soal mudah! Yang sulit bagiku adalah bagaimana memberitahumu..." Yu Nah terbatuk sebentar. Lalu berkata lagi. "Kalau kau bukan hanya kutukan bagi Sri, tapi juga kesialan bagi kampung ini!"

Aku menelan ludah. Lontaran kalimat menyakitkan itu kudengar lagi.

Aku menggeser tubuhku. Telon yang tengah terlelap mendadak terbangun. Ia mengibaskan ekornya sejenak. Lalu menggeram.

"Apa sebenarnya yang Yu Nah inginkan dari aku?" aku mulai berani menatap mata Yu Nah.

"Hanya sekadar memberitahu. Ibumu--Sri Astuti bukanlah perempuan baik-baik!" Suara Yu Nah melengking penuh tekanan. Membuat Telon terkejut lalu menghambur membabi buta.

Kejadiannya begitu cepat. Telon tahu-tahu sudah menyerang Yu Nah. Mencakar wajah perempuan itu berkali-kali hingga pemilik tubuh tambun itu memekik kesakitan dan kabur tunggang langgang meninggalkan kamarku.

Telon masih belum puas. Ia terus mengejar mengikuti langkah Yu Nah.

Beberapa menit kemudian kucing itu masuk kembali ke dalam kamar, melompat dan terpekur diam di sampingku.

"Kau telah berhasil mengusir perempuan nyinyir itu, Telon. Tapi setelah ini kau harus berhati-hati. Bisa saja ia membalasmu dengan..."

Belum selesai aku bicara, terdengar suara langkah mendekat lagi.

Ibu.

Tangan lembutnya menyisihkan tubuh Telon hati-hati. Lalu mengambil tempat duduk di sampingku.

"Aku baru saja melihat Telon mencakar habis wajah Yu Nah," Ibu tersenyum seraya menyentuh pundakku. Aku mengangguk.

Ibu beringsut lagi.

"Apakah Ibu harus menceritakan semuanya padamu, Nur? Mengapa Yu Nah begitu membencimu?" Ibu berkata pelan. Kali ini aku menggeleng.

"Tidak, Bu. Tidak perlu. Yang penting Ibu sangat menyayangiku. Itu saja sudah cukup," aku mendekatkan wajahku. Mencium harum pipi Ibu.

Wangi kaldera.

Ya. Aku sama sekali tidak peduli akan masa lalu Ibu. Bagiku Ibu tetaplah perempuan hebat. Perempuan tangguh yang tidak malu memiliki aku.

Sekalipun tadi aku sempat mendengar Yu Nah mengatakan sesuatu yang buruk mengenai diri Ibu.

"Sri itu perempuan gila! Ia menikahi seekor kucing! Telon itulah bapakmu!"

Tanpa sepengetahuan Ibu perlahan tanganku bergerak, meraba sesuatu.

Ada! 

Ekor itu. Berjuntai panjang di belakang tubuhku. 

***

Malang, 03 Januari 2019

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun