Berjalan di atas pasir hitam kaldera sejauh hampir 3 kilometer bolak-balik setiap hari, bagi Ibu adalah hal yang biasa. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan lelah. Meski keringat mengucur deras di keningnya yang tak lagi licin.
Ibuku memang perempuan kaldera sejati. Setidaknya begitu yang aku ketahui di sepanjang hidupku ini.
"Ibu sudah waktunya istirahat," aku menggapai. Berusaha meraih tangan Ibu yang sibuk mempersiapkan bakul besar terbuat dari anyaman bambu di atas meja.
"Ibu masih kuat, Nur. Kau tidak perlu cemas," Ibu beralih pandang ke arahku. Seperti biasa. Senyumnya yang manis meluluhkan hatiku.
"Tapi, Bu," mataku mendadak berkaca-kaca. Aku terharu menyaksikan bagaimana perjuangan Ibu. Dua belas tahun lebih menggendong bakul berisi jagung rebus menyususuri pasir kaldera yang panasnya minta ampun di kala musim kemarau dan dnginnya membekukan di saat musim hujan tiba.
"Tidak ada yang berat jika itu dilakukan untuk cinta, Nur," Ibu mengelus kepalaku. Seolah paham apa yang tengah kupikirkan.
Untuk cinta? Ibu mengatakannya sedemikian ringan. Tanpa beban.
Ya. Sekali lagi kukatakan. Ibuku sosok perempuan yang tangguh. Ia menjalani hidupnya seorang diri. Benar-benar mandiri. Ibu juga merawatku dengan sabar. Itu dibuktikan dengan rela menggendongku bolak-balik ke kamar kecil jika aku ingin mandi atau buang air.
Ibu sama sekali tidak pernah berkeluh kesah.
Sampai suatu pagi aku mendengar seseorang berkata lantang kepada Ibu.Â
"Nur itu serupa kutukan bagimu, Sri!"Â