Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja dan Kenangan

10 Desember 2018   18:18 Diperbarui: 10 Desember 2018   18:24 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: videoblocks.com

"Kamu tahu apa yang selalu disisakan oleh senja?" tanyaku. Suatu petang. Kamu menggeleng. 

"Kenangannya."

"Dan kamu tahu apa yang menarik dari kisah kita?" tanyaku lagi, lirih. Kamu mengangkat bahu.

"Berantemnya...."

Seketika kamu berpaling, menatapku. Dengan sungging senyum yang berusaha kamu sembunyikan.

"Kapan kita berantem lagi?" tanyaku perih. Ada genang yang kutahan. 

Tak ada jawaban. Hanya jemari tanganmu yang terulur. Menyentuh pundakku. Sedikit.

"Baiklah," aku berdiri. "Senja masih seperti kemarin. Mengurai semburat merah pada pipi langit yang cubby," aku bicara sendiri. Kamu ikut berdiri. Kusentuh ujung jemarimu. Terasa beku. 

Hanya itu.

Lalu aku beranjak, pergi. Tanpa ucap selamat tinggal. 

Dan kamu masih berdiri mematung menatap tepian senja. Memikirkan entah.

***

"Apa yang menarik dari gerimis?" kutulis tanya itu pada buram kaca jendela. Di suatu senja yang lain.

"Tariannya. Yang menghentak rampak pada rerimbun semak. Lalu menyusup kuyup di sela-sela dedaunan menguncup. Dan merebah lelah di papar tanah berbongkah," jawab angin yang tetiba hadir tak kutahu dari mana muasalnya.

Kuhitung senja yang terlewati. Mengurai pintalannya yang mengusut helai demi helai.

"Sisakan untukku." Pintamu kala itu.

"Apanya?" aku mengernyit dahi.

"Kenangannya."

"Untuk apa?"

"Untuk seketip rindu yang kutahan."

Aku mengangguk. Menyisihkan setiap helai kenangan berwarna-warni. 

Warna merah ketika kamu marah. Warna biru saat kita saling merindu. Dan rupa-rupa warna lain yang mewakili perasaan kita.

Lalu kugantungkan kenangan penuh warna itu pada sudut hatiku yang paling sulit dijangkau.

"Gerimis sudah habis, mengikis," bisik angin mengingatkanku. Aku melenguh. Menyeka embun yang menguap membawa sunyi. Membiarkan lembayung berubah kelam. 

Saatnya untuk menutup kenangan.

"Esok kita akan bertemu lagi," aku melambai ke arah senja. Ah, tidak, lebih tepatnya melambai ke arah bayanganmu. Yang sejak tadi berdiri menatapku. 

Entah, di mana.

***

Malang, 10 Desember 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun