Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | [Miss You] "The Lost Code"

3 November 2018   21:37 Diperbarui: 3 November 2018   22:34 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:theconversation.com

El tersenyum. Hidungnya terlalu tajam untuk tidak membaui adanya ketidakberesan. Sinyal-sinyal di sekujur tubuhnya sedemikian peka. Sangat terlatih. Bahkan mungkin sejak ia belum diciptakan.

Sekalipun sempat berkali-kali mengalami semacam dilatasi pada otak dan jaringan tubuh lainnya, El masih bisa membedakan. Mana rasa sakit, mana situasi bahaya dan mana saat kondisi tenang.

Setelah terlempar ke sana kemari, berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain--dari El--Larissa--kemudian kembali lagi ke El, bukan berarti ia harus kehilangan seratus persen akal sehatnya. Ia masih menyimpan satu kode rahasia untuk mempertahankan keutuhannya sebagai mahluk beradab.

Entah apa sebenarnya yang diperebutkan dua kubu yang saling berseberangan itu. Ketika sosok El menjadi begitu amat berharga.

Des tak mau kehilangan El. Dan Aquila bersikukuh ingin mentransformasi jati diri El ke tubuh Larissa. Seutuhnya.

Mata El meredup. Kehadirannya di The Good Hell malam itu adalah semacam robot yang dirancang sedemikian rupa untuk mengelabuhi entah siapa. Hanya Des yang tahu.

Sedang kehadirannya sebagai perempuan bergaun merah di gedung tua tempat Profesor Oz mengembangkan virus, di situlah ia-- El yang sebenar-benarnya. Yang kemudian harus kembali terlempar ke suatu tempat yang selama ini berusaha dihindarinya. 

Perkumpulan Bulan Sabit Perak.

Usai mengalami kebingungan yang amat sangat, antara kejadian yang dialami di gedung tua dan fakta yang disodorkan oleh Aquila, El berusaha menenangkan diri. Berdiri dengan posisi tegak. Mengatur napas sebaik-baiknya.

Hhhh. Ia mendesis berulang kali. Dan mulai menyadari bahwa dirinya telah terjebak dalam labirin yang kasat mata. Labirin yang bisa saja membuatnya kolaps sewaktu-waktu.

Sementara itu Aquila yang duduk berkutat menghadapi tumpukan dokumen di atas meja, tiba-tiba terlihat amat panik. Telpon dari Nebula membuatnya harus wira-wiri memeriksa sesuatu.

"Keadaan darurat! Telah terjadi chaos!" perempuan berseragam putih itu beranjak dari kursinya. "Kukira untuk sementara waktu aku harus meninggalkanmu, Larissa," Aquila meraih jaket dan bergegas meninggalkan ruangan.

"Bukan Larissa, Nona Aquila. Aku El. Ya. Kukatakan sekali lagi kepada kalian. Kalian semua!" El menatap tubuh-tubuh yang dibiarkan bergelimpangan. Lalu ia mendekati salah satu tubuh yang dirancang amat mirip dengannya.

"Termasuk padamu, Nona," El mendengus seraya menyentuh tubuh Larissa yang terlentang di atas tempat tidur khusus. Tubuh kaku semacam manekin, malam itu dibiarkan dalam keadaan telanjang. Dipenuhi oleh kabel beraliran listrik. Dari ujung kaki hingga ujung kepala.

El memeriksa setiap inci duplikasi dirinya itu. Sembari mengingat-ingat sesuatu.

"Hm...jadi ini yang selama ini mereka lakukan terhadapku. Menanamkan di pikiranku bahwa aku telah mengalami semacam cuci otak. Bahwa yang gundul plontos itu kepalaku, dan..."

El serta merta menggulingkan tubuh Larissa hingga posisinya miring ke kiri. Menghadap ke arah dinding.

Sejenak kemudian ia terperanjat.

"Hebat sekali kerja mereka. Bahkan tahi lalat di bagian tengkukpun tidak terlepas dari perhatian," El bergumam, setengah kesal setengah geli.

El masih ingin meneliti tubuh Larissa lebih seksama, ketika tiba-tiba ia merasakan tubuhnya sendiri bergetar hebat. Menggigil. Keringat dingin mengucur deras. Dan perutnya mual seperti diaduk-aduk.

"Hoeeeeek!" ia muntah. Berkali-kali. Disertai sakit kepala yang amat sangat.

Sekalipun berusaha bertahan, akhirnya tubuh ringkih itu tumbang juga.

El ambruk.

Pingsan tepat di bawah tempat tidur di mana tubuh Larissa mulai terlihat bergerak-gerak.

***

Entah sudah berapa lama El tidak sadarkan diri. Ketika membuka mata, tahu-tahu dirinya sudah berada di atas tempat tidur, menggantikan posisi Larissa.

Di hadapannya telah berdiri Aquila dengan senyum paling lembut.

"Kau merasa lebih baik, Larissa?"

"Tolong jangan panggil aku dengan nama itu, Nona Aquila. Dan tolong berhentilah bereksperimen terhadap tubuhku," El berusaha mengangkat kepalanya. Tapi terkendala oleh ikatan erat pada kedua tangan dan kakinya.

"Jangan banyak bergerak, Larissa. Kami sedang berupaya me-restart memorimu," Aquila membetulkan letak kabel yang sedikit bergeser.

"Apa yang sebenarnya kalian inginkan dariku?" El memejamkan mata. Sedapat mungkin ia harus bisa mengendalikan emosi. Jika tidak, akan terjadi kerusakan fatal pada sistem terpenting di dalam organ otaknya.

"Kau tidak menjawab pertanyaanku, Nona Aquila?" El masih memejamkan matanya.

"Bukan wewenangku menjawab pertanyaanmu mengenai hal yang amat pribadi ini, Larissa. Aku tidak ingin melangkahi Nebula," Aquila kembali menyentuh kabel-kabel yang berjuntai.

"Baiklah. Meski aku punya hak untuk memperoleh jawaban atas perlakuan aneh kalian terhadap tubuhku, aku tidak akan memaksa. Kecuali..." El membuka kedua matanya dengan gerakan mendadak.

Aquila tersentak.

Pada layar monitor, elektrokardiogram mengalami kekacauan--yang sepertinya disengaja.

"Nebula! Kode untuk mengacak memori tiba-tiba terhapus, menghilang!" Aquila berlari kembali ke meja kerjanya. Satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinganya, satu tangan lagi membuka map berwarna merah. Map yang berisi data-data lengkap El.

Sementara, di atas ranjang eksperimen, El tersenyum. Bibirnya yang pucat bergerak pelan.

"Thanks, G5N1..."

***

Malang, 04 Oktober 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca juga:

Pintu Kesadaran Nebula

Repetisi Kekacauan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun