Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | [Miss You] Savana Iblis

1 November 2018   05:15 Diperbarui: 1 November 2018   05:47 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Blup!!

Lampu ruangan mendadak padam. Tuan Oz buru-buru menyudahi pembicaraan seriusnya dengan Des.

"Rot? Kau masih di situ?" 

Tak ada sahutan. 

"Rot!" 

Nada suara Tuan Oz berubah meninggi. Tapi tetap tak ada tanda-tanda seseorang akan merespon panggilannya.

Dengan mengandalkan nyala lampu hp, ilmuwan itu mengamati sekeliling ruangan. Mencari keberadaan Rot.

Sedetik kemudian, lelaki tua yang seumur hidup memilih hidup melajang itu, berteriak histeris.

"Rooooot....!!! Kubunuh kau kalau tertangkap!"

Dengan langkah sempoyongan Tuan Oz keluar dari kamar, menyusuri koridor panjang yang menghubungkan bangunan induk dengan ruang isolasi. Napas lelaki tua itu memburu. Beragam pikiran buruk mulai melintas di kepalanya. 

Jangan-jangan...

Jangan-jangan...

Dugaannya benar. Pintu ruang isolasi dalam keadaan terbuka. Tuan Oz menyeruak masuk. Gerahamnya menggelutuk. Kedua tangannya mengepal gemetar.

Mata lelaki tua itu kian nanar saat melihat ranjang di mana El sebelumnya terbaring. Berantakan. Kabel-kabel berjuntai di sana sini. Dan El, raib!

Tuan Oz nyaris menumpahkan sumpah serapah andai saja ia tidak mendengar suara mencurigakan, berasal dari samping tempat tidur.

Rot!

Tuan Oz membungkukkan badan. Mengulurkan tangannya yang keriput. Menyentuh tubuh Rot.

"Ah, Rot. Sayang sekali kau tidak bertanya dulu padaku. Bagaimana cara yang tidak benar menggunakan serum penawar APTX 101," Tuan Oz berkata dingin. 

"Saya sama sekali tidak menyesal, Tuan Oz. Bagi saya lebih baik mati dengan tubuh sendiri daripada hidup menjadi manusia kerdil yang memuakkan!" Rot menantang mata Tuan Oz.

"Waktumu tidak banyak, anak muda," Tuan Oz melirik arloji di pergelangan tangan kanannya.

"Kita masih memiliki waktu sekitar dua puluh menit, bukan? Saya pikir sebaiknya kita bersenang-senang terlebih dulu," sembari berkata demikian Rot melompat dari duduknya. Meraih jarum suntik yang sudah dipersiapkan. Lalu menusukkan jarum itu sekuat tenaga ke arah lambung kiri Tuan Oz.

Beberapa detik berselang tubuh Tuan Oz menggeliat. Ia merasakan panas yang teramat dahsyat. 

"Saya masih berbaik hati menyisakan APTX 101 untuk Anda, Tuan Oz," Rot tersenyum penuh kemenangan.

"Kau! Setan!" Tuan Oz menggeram seraya bergulingan di atas lantai memegangi lehernya dengan kedua tangan.

"Saya kira sebentar lagi kita akan melewati fase yang amat menyenangkan, Tuan Oz. Saya akan mati bahagia dan Anda akan hidup memuakkan dengan wajah dan tubuh idiot!" Rot kembali terduduk. 

"Dan sebelum saya mati, ada baiknya saya mengakui. Sayalah yang membebaskan El! Saya pula yang menyuruhnya melarikan diri melewati jalan rahasia rancangan Anda..." suara Rot mulai melemah. Napasnya naik turun. Demikian juga dengan denyut jantungnya. Mulai berpacu tidak beraturan.

"Kau...telah menunjukkan savana iblis itu Rot?...arrrrgggggghhh....." Tuan Oz kembali memegangi lehernya. Sesaat kemudian tubuhnya mengejang.

Dan tepat di kisaran waktu tiga puluh menit terlewati, Rot merebahkan diri.

Blaaaaaaarrrrrr!!!

Tubuh lelaki muda itu hancur berkeping serupa butiran debu.

***

El berlari sekuat tenaga. Entah apa yang mendorongnya berbuat demikian. Mengapa pula ia tiba-tiba memutuskan untuk melarikan diri dari tempat aneh itu. Padahal sebelumya ia sudah menandatangani perjanjian bermaterai. Merelakan kabel-kabel listrik menjamah sekujur tubuhnya. Juga mengizinkan niat Tuan Oz untuk menyuntikkan formula  APTX 101.

Mungkinkah karena lelaki bernama Rot itu? 

El tergugu. Mengingat kejadian yang baru saja dialaminya.

Betapa terkejut ia ketika Rot muncul di hadapannya dengan napas terengah.

"Kau harus segera meninggalkan tempat ini, Lady! Jika tidak, kau akan menjadi budak Profesor gila itu selamanya--seperti aku," Rot berkata seraya melepaskan kabel-kabel dan ikatan El.

"Bukankah ia sudah berjanji akan meleburku, Rot?" El menatap wajah Rot lekat-lekat. Ia menangkap kesedihan tersimpan di mata lelaki kerdil itu.

"Waktu kita terbatas, Lady! Kukatakan sekali lagi, Tuan Oz akan mengerdilkanmu seperti aku."

El turun dari ranjang. Ia kembali menatap Rot.

"Bagaimana aku harus percaya padamu, Rot?"

Rot mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya.

"Lady. Sebelum pergi tolong bantu aku menyuntikkan serum penawar toksin ini di tengkukku. Please!"

El berdiri ragu. Rot meraih tangan El. Menggenggamkan jarum suntik secara paksa. 

"Lakukan, Lady! Segera!"

Dan El akhirnya menyerah. Ia menusukkan jarum suntik berisi formula penawar toksin itu sekuat tenaga pada tengkuk Rot.

Untuk sesaat Rot mengejang. Lalu terdengar bunyi gemeretak semirip tumpukan kertas yang dibakar api.

Rot mengerang beberapa kali. Sesudahnya, terjadi keanehan. Tubuh kerdil itu memuai. Seperti adonan kue donat. 

Beberapa menit berselang, sosok berbeda telah berdiri di hadapan El.

"Rot?" El terpana.

"Kau paham sekarang?" Rot menganggukkan kepala sedikit. El masih terdiam.

"Lady. Sebentar lagi Tuan Oz akan datang mencariku. Kau pergilah dari tempat terkutuk ini."

"Tapi, bagaimana dengan dirimu?

"Aku--hanya mampu bertahan hidup selama tiga puluh menit usai penawar racun ini bekerja."

"What?" El terpekik.

Rot tersenyum. Tangannya yang kekar menyentuh pundak El. Semacam memberi kekuatan.

"Kita akan bertemu lagi di tempat lain, Lady. Percayalah padaku."

"Rot...bagaimana kelak aku bisa menandai bahwa itu adalah benar dirimu? " El merasakan dadanya tiba-tiba melesak.

"Aku yang akan datang padamu, El. Dengan inisial G5N1."

El tiba-tiba ingin menangis.

"Sekarang pergilah. Tuan Oz sudah tiba!" 

Sebelum mendorong paksa tubuh El ke sebuah lorong gelap semacam sumur, Rot mendaratkan ciuman hangat pada kening perempuan itu.

***

Larisa....

Larisaaaa....

Suara samar-samar serupa embus angin, bergaung. Merasuk ke seluruh pori-pori dan peredaran darahnya. Membuat jantungnya berdetak hebat tak terkendali.

Tiba-tiba saja ia sudah terlempar ke suatu tempat yang sangat jauh. Sebuah savana. Dan ia melihat begitu banyak bintang berjatuhan dari langit. Menggelinding dan berserakan di sekitar kakinya.

Larisa.

Larisa!

Larisa? Apakah Larisa itu aku? Namaku?

Larisaaaaaa!!!

Dada El serasa mau meledak. Sekelebat cahaya menyambar kepalanya. Tepat mengenai ubun-ubun.

Seketika ia membuka mata. Mendusin.

"Kau sudah siuman, Larisa?" seorang perempuan berseragam putih, di dadanya tersemat identitas diri: Aquila--tersenyum manis ke arahnya.

"Bagaimana aku bisa berada sini?" El memicingkan sebelah matanya yang masih berat.

"Kami menemukanmu pingsan di belakang gedung tua milik seorang Tuan blasteran Belanda," perempuan berseragam putih itu menjelaskan.

"Gedung tua?"

El atau Larisa--atau siapapun dia, mendadak melompat dari ranjang.

"Biarkan aku kembali ke tempat itu. Aku ingin menolong Rot! Rotter!"

"Menolong Rotter? Dia hidup beberapa abad yang lalu, Larisa. Rot dan gedung tua itu hanya sebuah legenda muram."

"Maksudmu?" El berhenti beberapa detik.

"Kau tidak mempercayai kata-kataku, Larisa? Periksa dokumen-dokumen tua ini."

Perempuan berseragam putih itu menyerahkan sebuah map berisi lembar-lembar kertas yang sudah menguning. Tangan El gemetar menerimanya. 

"Tidak mungkin. Ini sungguh sangat tidak mungkin!" El menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Di dalam dokumen tua itu El melihat foto Rot. Ekspresi wajah dan pakaian yang dikenakannya sama persis seperti saat mereka bertemu.

"Baca keterangan lebih detil tentang Rot, Larisa," Aquila berkata tenang. 

El terdiam. Matanya kembali nanar saat menemukan tulisan kecil yang tertera di bawah foto Rot.

Mr. G. Rotter. Lahir tahun 1876. Meninggal dunia tahun 1905 akibat bunuh diri.

El tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia hanya mampu memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana. Untuk menutupi kebimbangan. 

Saat itulah jarinya tersentuh sesuatu. 

Jarum suntik!

Wajah El seketika memerah. 

Tulisan mencolok yang tertera pada spet jarum, nyaris membuat napasnya terhenti.

G5N1.

***


Malang, 01 November 2018
Lilik Fatimah Azzahra


Baca juga:

Katastofe

Nyai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun