Angin utara terasa begitu dingin. Menusuk ngilu hingga ke sum-sum tulang. Aku ingin pulang. Bisik seekor merpati dengan mata dan hati membasah.
Lelaki duduk di serambi tua. Menekuri lukisan di hadapannya yang terlihat agak ganjil. Lukisan seorang perempuan. Tak bermata.
Lelaki itu sebenarnya sudah memiliki beberapa gambaran dalam imajinasinya. Bentuk mata yang bagaimana yang ingin dipasang pada wajah perempuan itu. Namun beberapa kali lelaki itu tertegun. Sebab ternyata tak ada satu pun dari sepasang mata dalam angannya yang sesuai. Kalau tidak terlalu kecil, pasti terlalu besar. Jikalau ada yang nyaris cocok, mata itu kosong. Pandangannya hampa. Tidak memiliki ruh kehidupan seperti yang diharapkannya.
Itulah sebab lelaki itu memilih membiarkan wajah perempuan di atas kanvas lukisnya begitu saja. Beberapa lama. Tanpa mata.
Masih di belahan angkasa nan jauh di seberang. Merpati menengadah ragu. Menatap langit senja yang mulai berubah kelabu.Â
Aku rindu pulang. Benar-benar rindu. Merpati itu kembali menjerang angan-angan.
Lelaki dengan cerutu tak lepas di bibirnya yang kering. Melempar pandang jauh ke luar jendela. Ia tidak berharap apa-apa. Hanya membatin. Semoga merpatinya yang pernah lepas segera kembali. Pulang. Kapan pun. Ia tak akan bosan dan lelah menunggu.
Musim berputar dengan adil. Seperti roda kehidupan yang tak sempat berkhianat. Ada yang pergi dan ada yang rindu pulang. Ada sedih dan tentu harus ada senang.Â
Merpati pun memutuskan terbang, riang kembali menuju rumah tuannya. Yang ia tahu, tuannya itu masih setia duduk menunggu di hadapan lukisan perempuan tak bermata.
Di setengah perjalanan. Seekor burung elang datang menghadang. Menjanjikan kesenangan lebih. Menggiurkan. Membuat merpati melupakan niat semula untuk pulang.
Lelaki meletakkan cerutunya hati-hati di atas meja. Baru saja ia melihat sekelebat bayangan melintas di kepalanya. Ia bergumam. Ah, merpatiku. Kembali ia tergoda. Biarlah. Semoga ia baik-baik saja.