Untuk kesekian kalinya Nyonya Besar merasa dipecundangi.
El.
Perempuan itu telah beberapa kali mangkir dari kesepakatan yang telah mereka buat. Sekali dua kali Nonya Besar masih memaklumi. Tapi kali ini?
El memang type perempuan yang tidak memiliki pendirian. Dia mudah goyah. Jiwanya rapuh seperti kerupuk rambak. Gampang remuk dan melempem.
Selama ini Nyonya Besar sudah berusaha mengubah karakter El agar menjadi perempuan tegas, mandiri dan pemberani. Dan Nyonya Besar sangat gemas, ketika sadar betapa sulitnya mengubah diri El.Â
Secara fisik El memang mulai mengalami kemajuan. Penampilannya terlihat jauh lebih segar dan hidup. Tapi itu hanya sebatas fisik. Sedang jiwa El, ia tetap saja perempuan lemah tanpa daya.
Nyonya Besar menelan ludah.
Ia teringat saat pertama kali bertemu El--perempuan bertubuh kurus ringkih, bermata sayu seperti mata burung merpati. Ingin sekali Nyonya Besar mencongkel mata itu dan menukarnya dengan mata burung elang. Supaya pandangannya berubah nyalang dan beringas. Sehingga tak lagi menghasilkan airmata yang nyaris menenggelamkan diri El sendiri.
"Aku akan mencuci otakmu, El. Kau bersedia?" tegas dan penuh wibawa pertanyaan Nyonya Besar kala itu. El tampak ragu. Dan ia memang begitu. Selalu ragu sampai seseorang berhasil meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.
"Apakah aku akan melupakan semuanya? Maksudku---setelah Nyonya berhasil mencuci otakku," El tertunduk. Tidak berani beradu pandang dengan perempuan cantik di hadapannya itu.
"Bukankah kau ingin melupakan semuanya, El? Segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalumu yang kelam itu?" Nyonya Besar mengamati El tak berkedip. Bahu El seketika terguncang.
"Aku..."
"Baiklah. Biar aku yang memutuskan. Aku akan secepatnya mencuci otakmu!"
***
Malam itu sungguh malam yang sangat menyakitkan bagi El. Beberapa alat dipasang pada kepalanya. Rambutnya yang panjang terurai terpaksa dipangkas habis. Dicukur gundul. Plontos. Agar Nyonya Besar mudah memasang kabel-kabel beraliran listrik dan alat-alat kecil--yang sungguh, El sama sekali tidak memahami cara kerja alat-alat canggih itu.
El pasrah saja. Ketika alat-alat itu mulai bekerja dan ia merasakan kepalanya berdenyut hebat seolah hendak meledak.
Awalnya El berusaha bertahan. Tapi ketika ia benar-benar merasakan sakit yang luar biasa, perempuan itu tidak mampu menahan diri lagi. Ia menjerit sekuat tenaga. Melolong bagai serigala kelaparan di tengah keheningan malam.
Mendengar jeritan histeris El, Nyonya Besar bukannya merasa iba. Ia malah tertawa lebar. Merasa sangat puas. Baginya jeritan El adalah pertanda bahwa perempuan lemah itu telah berhasil membebaskan diri dari cengkeraman masa lalu.
Yap, El telah terlahir kembali sebagai pribadi baru.
Seharusnya begitu.
Tapi ternyata tidak.
Ketika alat-alat canggih di kepalanya satu persatu dilepaskan, El ternyata masih perempuan yang sama. Yang masih memuja airmata.
"Nyonya, maafkan aku," El terisak seraya mencium jemari tangan Nyonya Besar yang terjulur kaku. Wajah cantik Nyonya Besar seketika memerah. Â
"Sepertinya, tak cukup sekali mencuci otakmu, El. Bersiap-siaplah. Aku akan melakukannya satu kali lagi!"
***
Suara gaduh di luar kamar membuat Nyonya Besar beranjak. Diikuti oleh El yang sibuk membebat kepalanya yang plontos dengan kain ala wanita gipsy.Â
"Kupikir gadis itu berulah lagi, Des," El membuka sedikit tirai jendela.
"Ya, ia gadis yang cerdas. Aku yakin ia sudah berusaha mencari tahu keberadaan kita yang tiba-tiba menghilang. Ia tidak menyangka bahwa kamar ini memiliki pintu rahasia," Nyonya Besar menyeret langkah."Hm, El. Sepertinya kita kedatangan tamu istimewa. Sebaiknya mari kita sambut dia," Nyonya Besar mendahului membuka pintu rahasia.
Dan benarlah.
Kedua perempuan cantik itu memergoki seorang laki-laki berpenampilan tengil tengah menyeret tubuh mungil Nurul, pembantu baru di rumah itu.
"Dia bagianku, El. Kau minggirlah!" Nyonya Besar segera mengeluarkan senjata api dari balik kutangnya. Lalu dengan langkah anggun ia menghampiri lelaki tak dikenal itu sembari berkata, "Welcome to my palace, Geni..."
Lelaki bernama Geni itu terperanjat. Jantungnya nyaris menggelinding ke bawah kolong meja.
Bagaimana mungkin perempuan cantik bergaun hitam itu mengetahui namanya? Adakah seseorang di rumah ini yang...
"Lily! Kau lambat sekali!" suara perempuan bergaun merah kembali mengagetkan lelaki tengil itu.
Lily?Â
Geni tersadar kini.Â
Lily-lah yang menjadi kunci utama mengapa perempuan bergelar ratu kematian itu mengetahui jati dirinya.
Sejenak lelaki gondrong itu terlihat seperti orang linglung.Â
Tiba-tiba saja Geni merasa telah menjadi penyamun yang terperangkap di sarang perempuan. Yang sebentar lagi akan mencincangnya!
***
Malang, 23 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Baca kisah terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H