Saya sering tanpa sengaja menemukan ide-ide dari bacaan yang sedang saya nikmati. Semisal, saya tiba-tiba ingin mengetahui tradisi salah satu suku primitif di sebuah negara. Saya pun melakukan jelajah, browsing-browsing. Dan lega sekali ketika menemukannya. Saya membaca dan mempelajarinya baik-baik. Lalu saya berkeinginan menuliskannya kembali sesuai dengan imajinasi saya.
Mengenai tradisi yang berlaku dalam suku primitif ini sudah saya tuliskan dalam cerpen berjudul: Tenanglah Maria, Ia Sudah Mati.
Sejatinya jika ditanya mengenai proses kreatifitas saya dalam menulis, jujur saya tidak bisa menjawabnya secara detil. Sebab saya ini hanya penulis otodidak. Saya belajar sendiri. Tanpa guru atau pembimbing. Apalagi sampai kursus kepenulisan. Semua terjadi dan mengalir begitu saja.
Apa yang ingin saya tulis--yang kebetulan mampir di kepala saya, ya, saat itu juga saya mewujudkannya dalam bentuk cerita.
Saat ini saya mulai tertarik menggeluti puisi. Bukan apa-apa. Saya ini orangnya pembosan. Dan suka sekali akan tantangan.
Salah satu upaya untuk menghindari kebosanan saya dalam menulis, saya harus menyemangati diri saya sendiri dengan melakukan sesuatu yang membuat saya senang dan gembira melakukannya.
Tentang puisi. Beberapa dari karya fiksi saya yang terposting di Kompasiana semenjak tahun 2015, barangkali untuk karya ini tidak terlalu banyak. Bisa dihitung dengan jari. Tidak sebirahi saya dalam menulis cerpen.
Lantas mengapa akhir-akhir ini saya terkesan getol menulis puisi?
Sekali lagi saya katakan, saya ini type pembosan dan suka sekali tantangan.
Saya masih ingat, satu dua puisi saya sebelumnya pernah mendapat kritikan pedas dari para pakarnya (pemuisi) handal. Ada yang mengatakan saya 'ngeden' kalau menulis puisi. Waduh...
Bermula dari kritikan-kritikan tersebut, saya bukannya minder atau mundur, malah merasa semakin tertantang untuk terus belajar. Menyatukan perasaan saya. Memilih diksi yang bagus agar enak dinikmati. Meski belum sepenuhnya berhasil, tapi setidaknya puisi-puisi saya mulai menemukan jalannya. Kesan ngeden'Â sudah sedikit mencair.